Oleh : Ubaydillah, AN
Kreativitas (creativity) adalah kemampuan yang sudah menyatu dengan otak manusia Tugas pendidikanlah bagaimana mengeluarkan kemampuan itu dan bagaimana memberi panduan. Kreativitas dengan begitu bukan profesi, bukan pula produk dan bukan pula domain industry; bahwa ada yang disebut produk kreatif, profesi kreatif, sampai ke industri kreatif, semua itu semata-mata merupakan sebutan penamaan. Sejatinya, kreativitas tetaplah murni urusan kualitas manusia. Selama manusia menginginkan kehidupan yang lebih bagus, maka kreativitas mutlak dibutuhkan.
Tuhan menganugerahkan kemampuan ini agar manusia bisa menciptakan adaptasi terhadap perubahan, menciptakan solusi terhadap persoalan, dan menciptakan kreasi terhadap kebutuhan. Sayangnya, perhatian sebagian besar kita terkait dengan kreativitas ini hanyalah sebatas produksi; inipun masih dibatasi dalam konteks ekonomi seperti halnya menyebut seseorang kreatif apabila sanggup menghasilkan produk yang secara ekonomi punya nilai materi. Hal ini jelas merupakan penyempitan makna.
Masalahnya dunia pendidikan pun ironisnya turut melakukan penyempitan itu. Jika Anda baca di koran, ada pembiasan esensi kreativitas karena pembahasan mengenai guru kreatif ada yang malah merujuk pada guru yang bisa menghasilkan ide-ide bisnis kreatif, misalnya selain mengajar juga punya usaha sampingan. Murid disebut kreatif apabila sanggup menghasilkan produk unik yang laku dijual atau diperlombakan.
Di manakah letak kekeliruannya? Menyempitkan makna kreativitas menjadi hal yang punya nilai ekonomi memang tidak salah total. Namun apabila praktek itu dikaitkan dengan proses pendidikan, akan menempatkan potensi kreativitas para murid seperti lahan tak tersentuh dan bahkan menimbulkan potensi masalah yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Padahal, seperti termaktub dalam UU Sisdiknas Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah kualitas manusia, bukan produk atau menjadi makhluk ekonomi. “Tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadiwarga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Kreativitas Rendah Di Pendidikan
Membaca data media tentang berapa pelajar yang tewas dalam tawuran, sungguh sangat mengerikan. Tahun 2012, ada 82 pelajar tewas seluruh Indonesia. Tahun 2013, ada 17 pelajar mati dan itu baru di Jabodetabek. Kalau dihitung dengan yang luka ringan sampai luka berat, termasuk menghitung kerusakan fasilitas umum, totalnya menyedihkan.
Pertanyaannya adalah mengapa begitu mudahnya pelajar menggunakan cara-cara agresif dan biadab untuk menyelesaikan masalah? Tentunya ada beberapa penyebab, namun tumpulnya cara berpikir menjadi salah satu penyebab yang sangat mendasar. Mereka kurang dilatih berpikir kreatif dalam melihat masalah, memperlakukan masalah dan mendatangkan solusi atas masalah itu. Mereka tidak terlatih untuk berkomunikasi kreatif dan dialog kreatif.
Dunia mahasiswa pun tak kalah agresifnya. Aksi brutal sekelompok mahasiswa tidak saja dilakukan antar mereka, tapi sering terjadi sudah terhadap dosennya, rektornya, kampusnya, bahkan terhadap sopir truk. Para mahasiswa itu pun belum terlatih menggunakan cara-cara kreatif dalam menyelesaikan masalah. Seperti kata Maslow, pakar psikologi humanistik, “Jika alat yang Anda miliki hanya palu, maka Anda akan menganggap semua persoalan seperti paku”
Oleh karena miskin referensi dalam berpikir, maka mereka cepat mengambil kesimpulan bahwa solusi atas segala bentuk masalah adalah mengalahkan orang lain dengan cara kekerasan, seperti hubungan palu dan paku. Komunikasi asertif, solusi yang sinergis, atau kerjasama dialogis yang merupakan buah dari kesuburan kreativitas masih manjadi barang langka.
Lebih menyedihkan lagi, ternyata krisis kreativitas di dunia pendidikan telah melanda orang-orang yang semestinya menjadi contoh bagi mahasiswa. Sudah bukan rahasia lagi ada proses copy-paste skripsi dan tesis. Laporan media menyebutkan tiga calon guru besar di Bandung diketahui mencontek. Ada beberapa professor yang disertasinya menjiplak pakar dari luar negeri yang kini sedang diselidiki dan ada beberapa yang sudah didemo.
Secara umum, dunia pendidikan kita belum mampu melahirkan sosok-sosok kreatif yang mampu mengoptimalkan penggunaan nikmat Tuhan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi bangsa ini. Kita lebih tertarik menggenjot impor ketimbang berpikir untuk ekspor. Kita lebih memilih mengirim TKI yang cepat langsung dapat devisa meski dengan pertaruhan nyawa ketimbang mengaktifkan lahan-lahan yang banyak menganggur. Kita lebih nikmat menjual bahan mentah ke luar (meski harganya murah) ketimbang mengolahnya di dalam negeri dengan inovasi. Produk pendidikan kita sebagian besar baru pada passive knowledge (pengetahuan untuk pengetahuan), dan belum ke active-knowledge (menggunakan pengetahuan untuk kehidupan) dengan mengaktifkan kreativitas lalu melahirkan inovasi. Padahal inovasi inilah aset nomer satu yang mula-mula dimiliki oleh semua negara maju.
Menurut riset Bank Dunia, kunci kemajuan bangsa itu 90%-nya pada kualitas SDM. Ini terdiri dari 45% kreativitas dan inovasi, 25 % networking, dan 20% tehnologi. SDA hanya berperan 10% (Grand Strategi, Manajemen Pembangunan Negara Bangsa, Dr. Erman Suparno: 2009). Artinya, perlu ada kesadaran bersama bahwa penyempitan arti, makna, dan aplikasi kreativitas telah memunculkan rentetan masalah, dari mulai keok di ekonomi sampai ke ambruknya pilar peradaban. Ngerinya, ini sudah melanda dari generasi yang paling kecil sampai ke yang paling tua.
Solusi Menuju Pendidikan Kreatif
Pendidikan kreatif adalah proses pendidikan yang bisa menghasilkan orang-orang kreatif. Orang kreatif adalah orang yang mengoptimalkan penggunaan kreativitasnya untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Kunci kreativitas, seperti ditulis Sarsani (2011), dari Kakatiya University, India, dalam Encyclopedia of Creativity, adalah novelty, originality, and usefulness (ide baru, orisinil, dan berguna). Apa yang harus dilakukan untuk menuju ke sana ? Bila melihat konstruksi proses pendidikan, ada tiga hal yang sangat menentukan output pendidikan di segala masa, yaitu: orientasi, metodologi, dan substansi. Dari sinilah kita bisa menghadang arus krisis kreativitas itu (jika sudah pas untuk disebut krisis).
Meskipun kita memiliki orientasi pendidikan yang mulia, sampai dapat ajungan jempol dari para nabi dan malaikat, tapi di lapangannya, orientasi pendidikan kita sangat rendah, yaitu pendidikan untuk ujian, dapat ijazah, agar bisa kerja dan kuliah; bahkan tidak jarang dengan cara mencontek, menyuap, bersekongkol, atau menyikut.
Pendidikan yang semata-mata untuk ujian, sangat sulit melahirkan sosok kreatif yang punya batin jembar dan ide-ide segar. Kenapa? Setiap hari guru hanya akan berkonsentrasi mengisi otak anak-anak dengan soal-soal ujian atau materi yang disiapkan untuk ujian. Murid pun menggunakan sebagian besar waktunya untuk ujian. Bagaimana mereka terbiasa kreatif dalam menghadapi masalah jika otaknya diperlakukan seperti keranjang kosong yang harus dijejali? Untuk melatih kreativitas, pikiran butuh diperlakukan seperti api yang harus dinyalakan dengan berbagai gesekan (stimulant) sehingga berkobar sendiri.
Metode pembelajaran yang kita praktekkan pun masih banyak yang tidak kondusif untuk melahirkan generasi kreatif. Secara umum, metode pembelajaran kita lebih banyak menempatkan murid sebagai pihak yang pasif dan lebih banyak diberi tekanan ketimbang tantangan. Hal ini membuat otak terbiasa menganggur dan patetik sehingga sulit dipakai untuk mencari solusi kreatif.
Semestinya para murid perlu didorong untuk mencari, menguji, dan menemukan berbagai opsi dari eksplorasinya terhadap masalah riil di lapangan. Mereka pun harus aktif, misalnya mendorong mereka mencari solusi yang kreatif dan positif saat digoda untuk tawuran di jalan atau yang lain. Tugas guru adalah membobot lalu menunjukkan berdasarkan ajaran, pengetahuan, dan akal sehat.
Soal substansi pun masih sering menjadi problem. Jika guru bahasa hanya bicara kata, guru matematika hanya bicara angka, guru sejarah hanya bicara data peristiwa, atau guru agama hanya bicara pahala dan dosa, maka sampai kiamat kurang 2 hari pun kita masih gagal melahirkan sosok kreatif. Kreativitas lahir dari nilai-nilai yang membentuk karakter hidup seseorang yang mestinya harus dimunculkan dari semua mata pelajaran dimana otak murid dilatih untuk melihat bagaimana persoalan hidup diatasi. Guru-guru sudah harus bicara nilai di balik apapun materi yang ia sampaikan, bukan semata knowledge, data, atau informasi.
Sumber Kreativitas Guru
Banyak tokoh di negeri ini bicara pendidikan, pak menteri, anggota dewan, media, kepala dinas, wali murid, kepala sekolah, dan semua itu bicara mutu pendidikan, tapi sadarkah kita siapa pihak yang paling diandalkan oleh mereka semua ini? Dalam prakteknya, hanya gurulah yang menjadi andalan sekaligus tumpuaan semua itu. Kurikulum yang sudah dinyatakan sempurna oleh malaikat pun akan lumpuh di lapangan bila gurunya bermasalah. Hal ini berarti kita sebagai guru perlu menyadari betapa menentukannya kita (tapi bukan untuk menyombongkan diri). Kenyataan ini seharusnya menjadi pegangan bagi pihak lain yang bertanggung jawab urusan pendidikan bahwa pembangunan pendidikan itu harus diawali dan diakhiri dari guru.
Terkait dengan pendidikan kreatif, lalu apa yang penting untuk diangkat di sini? Ada rumusan sederhana mengenai bagaimana mengembangkan kreativitas yang digagas oleh pakar senior Harvard Business School, Prof. Teresa Amabile, dari studinya selama tahunan. Pemikiran beliau bisa dijadikan acuan bagi guru dan pihak-pihak terkait sesuai peranannya. Amabile menyimpulkan, mengembangkan kreativitas itu butuh tiga elemen, yaitu: motivasi, aplikasi berpikir kreatif, dan keahlian (Center for Excellence in Learning and Teaching, Iowa State University: 1995-2014).
Guru harus punya motivasi sendiri untuk pendidikan kreatif dan pihak lain harus memperkuat motivasi itu dengan berbagai bentuk dan cara. Sumber motivasi yang paling bagus adalah keinginan untuk berubah atau tidak puas melihat kenyataan. Berpikir kreatif hanya bisa dilatih dengan menerapkan langsung dan belajar dari orang lain. Pelatihan guru se-Indonesia yang dijalankan pemerintah saat ini jangan hanya mengajari guru, namun beri mereka kesempatan yang lebih besar untuk menunjukkan kebolehannya.
Jika motivasi kuat dan aplikasi terus berjalan, maka semua orang akan menjadi ahli. Keahlian erat kaitannya dengan jam terbang dan pelatihan. Guru-guru kita tidak saja punya masalah dengan kesejahteraan, tapi keahlian juga. Harapannya adalah pada pemerintah. Bagaimana kalau semua pihak yang kita harapkan itu tak kunjung dukungannya? Sejujurnya, pendidikan kreatif itu tetap bisa kita jalankan tanpa minta izin siapapun dan dukungan dari siapapun, meski efeknya hanya beberapa kelas. Setuju?
0 komentar: