Oleh : Jacinta F. Rini
Senin,
"How can I be a great man like you?"
"Why be a great man? said the Master
Being a man is a great enough achievement"
(Anthony de Mello)
Sebagian besar dari kita tentu punya keinginan untuk menjadi orang besar, atau sukses, diakui kehebatannya, dikenal namanya, diterima hasil karyanya, dipuji penampilannya, ditunggu-tunggu kehadirannya, dikagumi kepribadiannya, dsb dsb. Intinya, orang ingin jadi baik dan ingin dianggap baik oleh orang lain. Lahirnya seorang anak, melahirkan pula berbagai harapan dari orang tua maupun keluarga besar terhadap anak tersebut dikemudian hari. Ada harapan normatif dan ada yang subyektif. Normatif dalam arti memenuhi apa yang dianggap baik menurut standard ukuran social dan komunitas. Sedangkan subyektif lebih mengacu pada ukuran diri sendiri.
Masalah timbul ketika kita merasa sudah berusaha keras untuk jadi baik, namun hal baik tak kunjung datang sesuai harapan. Teori dan asumsi kita tentang perbuatan baik mendatangkan kebaikan, pada prakteknya tidak seperti di film Hollywood, bollywood atau sinetron tanah air. Sementara kita sudah mengikuti dan menuruti orang lain ketimbang gaya dan cara kita sendiri. Kita sibuk mencari apa yang harus dilakukan agar selaras dan harmonis dengan orang lain. Pada titik tertentu, kita mulai bertanya-tanya, "apa yang salah pada diriku?"
Untuk sampai pada pertanyaan di atas, banyak orang yang perlu waktu puluhan tahun, tapi ada juga yang relatif singkat, tergantung seberapa peka kesadaran kita terhadap benturan batin. Kita sering menjalani sesuatu karena alasan-alasan di atas. Tidak salah, sah-sah saja jika pilihan itu tepat, selaras dengan apa yang jiwa kita inginkan. Namun boleh diakui, hidup di tanah air yang kompleks ini tidak menyediakan banyak ruang dan kebebasan bagi originalitas tanpa ada embel-embel resiko. Pilihan untuk menjadi diri sendiri menjadi prioritas berikutnya dengan asumsi, can do it later after retire..i will have plenty of time doing everything I want.. (but it will be too late)
Mendaki puncak tak berujung
Selama hidup kita lebih sering mendengar prinsip, makin keras usaha, makin dekat dengan tujuan. Dengan prinsip itu pun kita berjuang melawan angin dan bertahan dalam badai demi menggenggam harapan yang konsepnya sudah tertanam di kepala. Apa yang tidak mudah, berusaha dicari cara dan jalan lain yang penting bisa mencapai tujuan. Jangan dibayangkan situasi ini seperti menghalalkan segala cara layaknya permainan kotor. Sebaliknya, kita bisa juga dilihat sebagai salah satu mekanisme survival of the fittest. Hampir setiap orang yang menganggap hidup adalah sebuah pertarungan dari pada sebuah petualangan, akan melakukannya.
Untuk itu, kita mencoba menaikkan derajat usaha maupun memodifikasi cara meski kekuatan fisik maupun batas toleransi stress sudah di tingkat mengkhawatirkan. Tidak jarang kita menyuntikkan doping semangat dengan berbagai cara, entah dengan training, benchmarking, seminar, outbound activity, hingga shopping, networking, clubbing, dsb. Intinya, menghibur diri agar tetap kuat & bersemangat pantang menyerah. Pola ini menjadi kian rutin bahkan ketika daya tahan fisik dan mental makin krisis sementara jalan masih panjang.
Akan tetapi ada suatu saat ketika kita merasa, apapun yang sudah kita lakukan, seperti kehilangan makna dan arah. Bisa jadi benar, karena kita lebih sering berjerih payah untuk mengejar sesuatu yang bukan panggilan hidup kita. Kita sibuk menjadi orang menurut criteria orang lain, mengikuti cara dan kebiasaan orang lain, berpikir dan berperilaku seperti orang lain, memilih hiburan ala orang lain. Sisi sejatinya kita malah tidak terlihat. Kadang kita bisa mendengar suara hati yang bertanya, "untuk apa semua ini?"
Dalam keadaan bingung seperti ini, kita tergerak untuk mencari pegangan, maupun obyek pengganti lantaran tujuan semula semakin kabur. Itu sebabnya kita menjebak diri pada rutinitas, compulsive activities (workaholic, forms of addictions), maupun rigidity (meningkatnya ketergantungan pada aturan, instruksi, kata-kata pemimpin, birokrasi, dsb), bahkan pada solid figure yang bisa memberi sense of certainty & security. Namun, pada titik tertentu, kita merasa super lelah mental dan fisik karena tidak bisa tidak meninggalkan pola itu tanpa alasan yang kuat dan jelas selain "I have to".
Problem akhirnya pecah ketika terlalu banyak tekanan dari berbagai arah mulai melebihi kekuatan mental kita saat itu. Ada kemungkinan kita jadi punya masalah dengan orang lain yang merasa terganjal oleh sikap kita. Kita menjadi sering terpukul dan terluka ketika apa yang kita lakukan dinilai negative oleh orang lain (baca : tidak puas, tidak bagus, terlalu ini dan itu, dsb). Saat hal itu terjadi dan kita masih punya cadangan energi, mungkin tidak terlalu mendatangkan gempa kekuatan besar. Namun berbeda jika situasi demikian datang bertubi-tubi, belum lagi jika ternyata fondasi diri kita tidak dibangun di atas dasar yang kokoh. Bukan hanya rasa percaya diri yang hancur, namun semangat dan harapan ikut menguap. Jika sudah demikian, hati kita menjerit "what do I live for?"
Denial of the self
Ada masa dimana akhrinya kita makin sulit melihat kebaikan diri dan hal-hal positif yang kita lakukan selama ini. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi adrenalin yang memompa semangat mendaki puncak Cartenz, sebaliknya langit abu-abu yang dingin menggantikan pemandangan kita. Muncul berbagai pertanyaan yang intinya mempertanyakan apa yang sudah dan akan kita lakukan, meragukan kemampuan & keahlian kita meskipun kita sudah melakukannya bertahun-tahun, menyesalkan pernyataan yang kita ucapkan atau pilihan serta keputusan kita. Pokoknya, semua terlihat nggak benar. Alhasil kita jadi sensitive terhadap sikap teman-teman, pasangan, anak, kolega, partner, orang tua, dan bahkan orang lain yang tidak kenal sesama pengguna angkutan umum. Kata-kata biasa terdengar lebih tajam di telinga kita dan sikap netral dianggap tendensius, dsb. Belum lagi kata-kata yang ada di dalam pikiran tidak kalah keras suaranya dari yang diluar. Alias, pernyataan sikap kita terhadap diri sendiri yang lebih banyak jeleknya ketimbang baiknya. Ketika dikritik, ada dua kemungkinan. Marah pada orang yang mengkritik, atau marah pada diri sendiri.
Fenomena ini sebetulnya berawal dari penolakan kita terhadap diri sendiri yang kejadiannya sudah berlangsung sejak lama, mungkin sejak kecil. Sebagaimana tulisan di atas, kita berusaha menjadi seperti "contoh" di luar sana, tapi kita lupa pada diri sendiri. Sedikit-sedikit aspek diri kita abaikan dan diganti atau ditutup supaya dari luar tampak sama dengan orang-orang yang dijadikan contoh model. Apakah maunya kita seperti itu ? tentu tidak, namun social reinforcement terhadap sikap baik itu relative lebih cepat dan kongkrit, sehingga impact terhadap harga diri pun lebih terasa. Mungkin tidak semua orang senang meniru dan mengikuti orang lain, bahkan ada pula yang merasa tertekan. Ada kalanya situasi keluarga, budaya kerja, maupun pergaulan mempengaruhi kita sehingga terbawa oleh atmosfir dan kebiasaan di situ. Atau, keterpaksaan pula yang menyebabkan kita bersikap, berpikir, bertindak, berbicara atau pun berkesenangan yang sama dengan lingkungan dominan. Kalau tidak demikian, kita (takut) dikucilkan atau minimal tidak nyambung dengan yang lain. Social conditioning dalam hal ini sangat efektif dalam membentuk perilaku seseorang.
Diantara contoh itu ada yang baik untuk ditiru, di pelajari dan diamalkan juga dalam kehidupan kita, seperti halnya nilai-nilai kebaikan. Namun tidak berarti semua satu paket dengan orangnya juga harus di tiru. Kita suka lupa bahwa kesejarahan orang berbeda-beda dan menapaki perjalanan hidup yang berbeda pula. Implikasinya, akan banyak perbedaan yang dihasilkan dari dinamika proses tersebut. Itu yang kita lupa, dan tetap saja mati-matian berusaha meniru modelnya plek.
Dalam jangka pendek, implikasinya tidak berasa, fun-fun saja. Tapi dampak jangka panjang dari denial of the self ini membuat orang tidak peka terhadap kebutuhan jiwanya sendiri sehingga sering kita dengar ungkapan "untuk apa saya hidup di dunia ini?" kalau segala kekayaan dan kesuksesan ini tidak membuat bahagia. Atau, buat yang merasa tidak sukses pun bertanya hal yang sama justru karena sudah kehilangan segalanya, namun tidak merasa benar-benar hidup.
Keresahan adalah salah satu symptom awal yang muncul. Kalau kita peka dan cukup mengenal diri, kita bisa merasakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam fisik maupun kejiwaan kita. Keresahan yang tidak terjawab meski sudah diusahakan mencari kesibukan, membeli sesuatu, beraktivitas, merokok, tidur, gaul, menelpon teman, mencari hiburan dengan FB-an, twitter-an, maupun shopping dsb, tapi tetap saja tidak berhasil memadamkan keresahan.
Banyak orang yang akhirnya terjebak di dalam jebakan itu sendiri, menjadi addicted justru terhadap hal-hal yang awalnya dianggap obat anti keresahan. Padahal keresahan mengindikasikan sesuatu, bisa jadi kebutuhan untuk mewujudkan, memberi bentuk, menciptakan atau mengembangkan sesuatu; atau ada pencerahan, kesadaran, insight yang ingin di nyatakan pada Anda. Oleh siapa ? ya oleh suara hati kecil Anda sendiri. Inilah problemnya, karena kita sering lari-lari dan mencari excuse sibuk justru di saat butuh pause /hening sejenak.
Bahayanya, kalau kita makin lupa diri, tidak ingat lagi akan tujuan dan cita-cita semula dan menganggap kegiatan anti keresahan sebagai aktivitas utama. Jika sudah demikian, tidak heran jika kita mulai krisis makna karena setiap hari bangun tidur tidak punya tujuan lain selain menggenapi rutinitas dan agenda hari itu seperti biasanya. Bekerja sekeras apapun tidak mendatangkan makna bagi kita. Yang ada badan lelah, pikiran terkuras, mental juga capek. Belum lagi jika ternyata muncul berbagai problem akibat samping dari pola rutinitas harian kita. Bukan kebahagiaan yang kita dapat, tapi multiple problem yang tidak habis-habisnya. Memang betul jika ada pertanyaan "untuk apa sebenarnya hidup ini?". Tapi, ketimbang kita menyelesaikan hidup, bukankah lebih baik kita menyelesaikan persoalan ini? Tujuannya jelas, supaya menemukan kembali diri kita, makna dan tujuan hidup sejatinya kita.
Mengakhiri kematian, mengawali kehidupan
Kita baru benar-benar dikatakan hidup jika berani mengakhiri kematian kita sendiri. Lho, apakah selama ini kita dianggap zombie atau robot? Pertanyaan ini tidak wajib di jawab karena sekedar intermezzo. Mungkin saja bisa jelas-jelas dijawab TIDAK, toh jika kita masih bisa merasakan kesedihan yang luar biasa atas kekosongan dan kehampaan ini. Masih pertanda baik jika kita bisa merasa gamang dengan kevakuman hidup, bisa merasakan gempa lokal ketika mengalami guncangan saat mengalami peristiwa yang mengagetkan alam pikiran dan kesadaran. Yang gawat adalah jika kita tidak mampu merasakan krisis. Anestesi jiwa. Orang yang yang hidup dalam keadaan tidak sadar ini, sulit berubah kecuali dibangunkan dulu dari ketidaksadaran.
Langkah menuju kesadaran relative lebih tidak enak, karena somehow berhadapan dengan hal-hal yang sebelumnya ingin kita hindari. Seperti menemukan mimpi-mimpi dan bakat terpendam. Sometime hal itu membahagiakan, tapi bisa juga menyakitkan karena belum apa-apa sudah merasa putus asa. Inilah tantangan terberatnya, ketika kita dihadapkan pada pilihan, apakah mau terus melangkah, tapi konsekuensinya susah dan tidak enak, atau pasrah menyerah ? berpikir "dari pada jadi pungguk yang merindukan bulan" atau "memang sudah nasib". Pilihan kedua, membuat kita kembali ke square one. Pilihan pertama, membuat kita harus membabat hutan rimba untuk menemukan diri sendiri dan menelusuri jalan setapak yang diperuntukkan bagi kita. Awal pasti lebih berat ketimbang selanjutnya, karena banyak hal baru yang belum pernah kita lakukan sebelumnya, banyak penemuan yang mengagetkan entah penemuan diri maupun realita (yang tadinya tidak terlihat, sekarang baru terlihat) dan banyak kebiasaan yang harus diganti karena tidak berguna.
Dengan menapaki jalan hidup kita sendiri, tentu kita tidak membutuhkan life style and habit orang lain. Selain itu, motivasi kita perlu di review; apakah yang kita cari, apa yang ingin kita capai, bagaimana cara kita untuk mencapainya? Perlu kepekaan batin dan kejernihan pikiran untuk mendeteksi apa yang menggerakkan kita saat ini: apakah ambisi untuk menang, kebutuhan untuk diakui, keinginan untuk dipuji, ingin sukses, ingin kaya, ingin jabatan tinggi, atau kerinduan hati untuk menemukan diri sejati dan memiliki hidup yang berbuah? Ada kemungkinan, our ultimate wish adalah ingin hidup yang berbuah, namun ada beberapa layer motivasi di bawahnya yang muncul sebagai dampak short term completion. Misal, membantu orang, lantas dipuji dan disukai orang banyak. Akhirnya, kita lupa pada ultimate goals, tapi fokus pada how to please others karena ada instant reward.
Nah, jika kita ingin menjalani hidup sejati, siapkan pula mental untuk menghadapi tantangan dan resikonya. Kalau kita berlogika, akan ketemu pola sejarah bahwa sesulit apapun kondisinya, pada akhirnya bisa terlampaui. Kuncinya, jalani saja. Tapi kalau kita berhenti sebelum melangkah, kita tidak pernah tahu batas kemampuan kita yang sebenarnya terus berkembang seiring dengan berkembangnya kompleksitas tantangan hidup. Setia pada pilihan dan berani terus melangkah, adalah strategi sederhana yang bisa membuat kita bertahan dalam menapaki hidup sejati dan menjadi diri sendiri.
Apa pentingnya menemukan diri ?
Pentingnya pertanyaan ini baru terasa kalau kalimatnya dibalik: apa rasanya kehilangan diri? Mungkin pertanyaan ini juga masih terlalu abstrak. Tapi kalau ditanya : bagaimana rasanya menjalankan sesuatu karena terpaksa ? apakah rasanya ikut ke pesta yang tidak kita sukai ? bagaimana rasanya kalau kita "salah kostum?" Nah, bayangkan jika kondisi itu terjadi sepanjang hidup kita. Berapa lama kita kuat menipu diri ? Banyak orang yang mengalami berbagai kondisi mulai dari stress ringan sampai depresi berat karena sulit menghindar dari situasi ini dan tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Jalan keluarnya sederhana, berani jadi diri sendiri, tapi caranya tidak sederhana, karena butuh keberanian dan komitmen. Namun hasilnya, jiwa yang merdeka.
Gerakan jiwa yang merdeka, didorong oleh kebutuhan natural untuk bertumbuh, berkembang dan berbuah. Setiap manusia punya kebutuhan dasar untuk berevolusi dan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua makhluk hidup. Kreativitas & berinovasi dan berkarya selaras dengan cipta rasa, akan muncul dari jiwa yang merdeka. Jiwa yang merdeka, lebih peka membaca situasi dan lebih tajam menangkap peluang karena pikiran dan jiwanya tidak dipagari oleh rasa takut dan kabut negativitas. They do what they need to do - not only what they want to do. Kalau melakukan apa yang diinginkan, artinya, yang tidak diinginkan, yang ditakutkan, akan dihindari. Tapi melakukan apa yang dibutuhkan jiwa, akan membongkar rasa takut dan berbagai pikiran "tidak mungkin, susah, malas ah". Artinya, mengatasi diri sendiri (egosentrisme, egoism dan self pity (kecenderungan mengasihani diri sendiri).
Selama kita tidak kreatif, tumpul, hanya bergerak dan bekerja berdasarkan pesanan, instruksi dan rutinitas, kita hanya hidup berdasarkan nafas, tulang, daging dan otot. Artinya kita menjadi robot (entah karena pilihan sendiri atau pun karena belum ada kesempatan) yang mudah disetir dan dikontrol orang lain & situasi. Itu yang membuat management hidup kita sering berantakan, karena management by panic, atau management by impulse. Akibatnya, meski jungkir balik usahanya, atau sampai bosan kerja, kok tidak maju-maju ?
Satu hal penting, untuk bisa memilih hidup perlu nalar dan logika rasional. Mood atau feeling tidak bisa diandalkan validitas dan konsistensinya. Nalar penting untuk bisa melihat realita secara obyektif dan menganalisa situasi serta berbagai alternatif kemungkinan, untuk mengambil keputusan yang sudah dipelajari & di prediksi dampak & konsekuensinya. Itulah yang dikatakan, memilih dengan sadar dan dengan sadar memilih untuk berkomitmen dan bertanggung jawab. Dengan mekanisme seperti ini, dikatakan kita mampu mengendalikan kehidupan ini sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin kita capai.
Be the best what you can be
Sewaktu kecil orang bertanya pada kita, kalau sudah besar mau jadi apa? Kita bisa bicara lancar dan spontan. Dan waktu ditanya mengapa ? jawabannya cenderung bersifat kontributif, memberi kontribusi pada orang lain, entah membantu bapak ibu, menolong emak, bantu teman-teman, om dan tante, dsb. Sewaktu remaja dan awal dewasa, kalau pun ada jawaban, keluar dengan jeda lama dan pakai berpikir panjang. Ketika dewasa dan tua, banyak orang yang sudah geleng-geleng kepala, alias tidak bisa memberikan jawaban. Entah karena pesimistik, apatis, fatalistik; entah karena sudah blank atau karena dari dulu memang tidak punya keinginan dan cita-cita. Padahal, benih harapan & impian, cita-cita - yang sudah ditanam dalam diri seseorang akan terus ada, tidak akan tercabut selama orang itu hidup; karena itulah yang menjadi gaya gravitasi seseorang untuk mencari dan menggenapi kehidupannya sesuai dengan surat perjanjian kelahiran ataupun kedatangan yang dibuat sebelum tiba di muka bumi ini.
Sikap pesimistik, apatis, fatalistik, muncul saat kita menilai bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan. Ada benarnya, tapi ada kelirunya. Benar, banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan di dunia ini, seperti kelahiran, kematian, hujan, panas, pagi dan malam, terbitnya matahari sampai terbenamnya, berputarnya bumi dan bulan, dsb. Tapi, manusia punya kehendak bebas & kekuatan untuk menentukan nasib dan kehidupannya. Artinya, manusia punya kendali atas hidup ini. Masalahnya, hidup yang sudah dipercayakan pada kita, mau diapakan, dijadikan apa, diisi oleh apa dan dibawa ke mana? Semua tergantung pada kemauan kita to do the best I can do and be the best I can be. Banyak yang tidak tahu kemampuannya dan mungkin tidak bisa meramal masa depannya; tapi karena punya tekad yang kuat, dibimbing oleh suara hati, memilih menjalani setiap tantangan dan kesulitan, dengan sikap mental yang semestinya sehingga apa pun yang dilakukan, bertarget untuk berbuah dan membuat kontribusi pada orang lain. Dengan begitu, tidak perlu mengejar ambisi untuk jadi orang besar, orang hebat atau orang penting karena yang utama bagaimana kita bisa mencipta, berkeinginan dan mewujudkannya dalam karya, berkontribusi secara optimal, sesuai keunikan, bakat, keahlian dan potensi yang kita miliki. Di situlah kita bisa menemukan nilai diri dan kepenuhan hidup. Doing the best what we can do and to be the best what we can be . Apa ruginya jadi diri sendiri ?
0 komentar: