Anang Dista Satria, Agung Laksono, dan Jeffrey Ferrari Lukman, sebagian anggota ScoreLab yang bermimpi meraih PhD |
Dua puluh dua ribu. Sebanyak itulah bug report yang harus dipelajari enam anak muda yang tergabung dalam tim riset Score Lab. “Kami melakukan studi ini dari Januari sampai Juni 2014,” ungkap Jeffrey Ferrari Lukman, salah satu anggota Score Lab. Namun hasilnya juga sepadan.
Hasil riset ScoreLab berjudul “What Bugs Live in The Cloud? A Study of 3000+ Issues in Cloud Systems” berhasil diterima Symposium of Cloud Computing 2014. Riset tersebut menjadi 1 dari 39 riset yang diterima dan dipublikasikan di ajang bergengsi tersebut, dan mensejajarkan Score Lab dengan lembaga riset dari berbagai universitas bergengsi AS seperti Princeton University maupun UC Berkeley.
Score Lab (yang merupakan singkatan dari Surya COmputing REsearch) adalah tim riset bentukan Surya University yang memfokuskan pada penelitian di bidang computer science. Riset di atas adalah riset pertama yang mereka lakukan dan bertujuan meneliti lebih tajam berbagai permasalahan yang ada di sistem cloud computing. “Karena sampai saat ini, sistem cloud yang ada tidak bisa menjamin 100% availability,” tambah Jeffrey.
Untuk mencari sumber masalah, mereka pun menganalisa 22 ribu laporan bug terkait enam sistem open source di bidang cloud. Software itu adalah Hadoop (termasuk tiga framework di dalamnya), Cassandra, Zookeeper, dan Flume. “Kami memilih sistem open source karena sifatnya terbuka sehingga setiap laporan bug bisa dipelajari,” imbuh Anang Dista Satria, salah satu anggota Score Lab.
Namun karena enam sistem ini terbilang populer (Cassandra misalnya, adalah sistem database yang dibuat Facebook), bug ini bisa mewakili kegagalan sistem cloud yang ada saat ini. Pemilihan topik tersebut juga terkait masukan dari pembimbing mereka, Prof. Haryadi Gumawi, peneliti asal Indonesia yang kini menjadi dosen di University of Chicago, AS.
Untuk tahap awal, penelitian terkait cloud computing ini masih dalam tahap pengelompokan. “Ada 6 – 7 faktor utama yang menyebabkan kegagalan sistem cloud,” kata Jeffrey. Setelah pemilahan, masing-masing anggota tim ScoreLab pun akan melakukan penelitian lanjutan sekaligus membuat tools untuk menjawab permasalahan tersebut.
Contohnya adalah yang dilakukan Jeffrey yang melakukan penelitian terkait concurrency bug. “Sekitar 12% kegagalan sistem yang terjadi akibat concurrency bug,” ungkap Jeffrey. Bug ini muncul akibat konfigurasi sistem cloud computing yang berjalan paralel di multiple core sampai multiple machine. “Kejadian mati lampu di New York beberapa tahun lalu juga akibat concurrency bug,” tambahnya.
Penelitian Jeffrey ini pun telah tertuang di artikel berjudul “Semantic-Aware Model Checking for Fast Discovery of Deep Bugs in Cloud Systems” dan berhasil lolos publikasi dari OSDI (Operating Systems Design and Implementation) 2014.
Sedangkan Anang dan rekannya, Agung Laksono, sedang mendalami soal bug yang terkait performa. “Kami ingin mengetahui bug yang mempengaruhi performa sebelum mesinnya jalan,” ungkap Anang.
Mengejar Mimpi
Keberhasilan ScoreLab menelurkan hasil riset yang diakui dunia kembali membuktikan kemampuan anak muda Indonesia tidak kalah dengan bangsa lain. Namun sayangnya, potensi besar tersebut tidak mendapat pondasi memadai dari sistem pendidikan negeri ini. Riset masih dilihat sebagai barang yang mahal di Indonesia, berbeda dengan China, India, dan Singapura yang memandang strategis bidang ini.
Padahal, pengalaman melakukan riset adalah faktor penting jika ingin menembus universitas teknologi teratas seperti Stanford, MIT, atau UC Berkeley. “Mereka mencarinya lulusan China dan India karena sistem pendidikan di negara tersebut sudah dipersiapkan untuk membuat riset sejak S1,” tukas Agung.
Fakta itulah yang membuat tim ScoreLab rajin mempublikasikan hasil riset mereka. “Publikasi ini adalah tiket kami untuk melamar program PhD di universitas terkemuka,” kata Anang. Semakin banyak riset yang dipublikasikan, semakin besar kemungkinan anak muda pemberani ini mendapatkan tempat di universitas incaran mereka.
Dan jika tiket itu diraih, impian Johannes Surya tentang Indonesia Hebat (yang ditandai munculnya puluhan PhD di Indonesia di tahun 2030), selangkah lebih dekat menjadi kenyataan.
0 komentar: