Hu Yoshida, Chief Technology Officer, Hitachi Data Systems. Foto : Siti Aisah Pujianti |
Dalam hidup, jangan khawatir kehilangan segalanya, karena kita selalu bisa memulai lagi dari awal. Namun dalam menghadapi tren teknologi, jangan sampai kehilangan momen implementasikan teknologi yang tepat..
Sebagai warga Jepang yang tinggal di Amerika pada masa perang dunia ke-2, Hubert Yoshida—atau lebih akrab dipanggil Hu Yoshida dan keluarganya harus hidup di dalam kamp. Meski masa kanak-kanaknya di kamp tetap aman da menggembirakan bagi Hu, sekeluarnya dari sana ia dan keluarganya tidak memiliki apa-apa.
“Kami harus bekerja keras, kami bertani,” cerita Hu tentang masa kecilnya kepada InfoKomputer dalam sebuah wawancara khusus di Jakarta. Dalam keadaan miskin, setelah perang dunia ke-2 berakhir, keluarga Yoshida menjadi petani penggarap di kawasan California, Amerika Serikat. Ia mengenangnya sebagai satu pelajaran tentang kerja keras dalam hidup.
Pelajaran lain ia peroleh dari sang ayah. “Ayah saya sebenarnya orang berpendidikan tapi ia mau dan bisa melakukan apa saja. Ia bertani, menjadi tukang, dan lain-lain,” kenang Hu. Sikap sang ayah itu mengajari Hu untuk tidak mengkhawatirkan soal uang; dan ketika kehilangan segalanya, ia bisa selalu memulai lagi dari awal. “Dan, jika kita memulai dari nol, kita tahu kita bisa saja kembali ke nol lagi,” imbuh mantan komandan peleton US Marine Corps di perang Vietnam ini.
Falsafah itu pula yang membuat Hu tidak khawatir melepas karirnya di divisi storage IBM yang sudah ia bina selama 25 tahun dan sudah mendudukkan Hu di posisi manajemen untuk hardware performance, software development, dan product management. Storage evangelist ini memilih pindah ke Hitachi Data Systems (HDS) karena tertarik pada arsitektur storage yang sedang dikembangkan HDS saat itu.
“The architecture that Hitachi had at that time was unique. Three generations ahead!” pujinya. Arsitektur tersebut sudah memisahkan antara mekanisme kontrol pada storage dengan data, sehingga perubahan konfigurasi pada data lewat control bus saja. “Sebuah arsitektur yang dinamis, dan di kemudian hari, teknologi itu diimplementasikan pada storage tervirtualisasi,” tutur pria yang di tahun 2006 dinobatkan sebagai CTO of the Year oleh Jon Toigo dan Storage Networking’s Heaviest Hitters oleh Byte and Switch.
Berbicara tentang beberapa tren teknologi terkini yang mungkin akan memusingkan bagi para pemimpin TI di berbagai organisasi, Hu Yoshida menyarankan agar mereka mampu melihat waktu yang tepat untuk mengikuti sebuah tren teknologi. Adakah dukungan ekosistem dan teknologi lain terhadap tren tersebut? Pria yang masih terlihat bugar ini mencontohkan demam dotcom yang melanda Silicon Valley tahun 1990an yang berakhir pada kegagalan.
Sebagai Chief Technology Officer perusahaan pemilik teknologi, memahami kebutuhan dan menyarankan teknologi (storage) yang tepat atau sesuai kebutuhan pelanggan adalah tugas Hu Yoshida sehari-hari. “Dan bagian yang paling menantang bagi saya adalah memahami kebutuhan atau persoalan yang dihadapi pelanggan ketiimbang mempelajari teknologinya sendiri,” ujar Hu.
Kemampuan memahami ini agaknya akan sering Hu Yoshida terapkan kalau nanti ia tak lagi berkarir di HDS. Pasalnya, sarjana Matematika lulusan University of California, Berkeley ini memilih menjadi guru tapi bukan guru matematika sekiranya harus kehilangan pekerjaan.
“Atau, saya akan pasang mesin potong rumput di truk tua milik saya dan menawarkan jasa potong rumput,” katanya penyuka makanan China ini ringan. Tidak perlu khawatir, semua bisa dimulai lagi dari awal
0 komentar: