“Saya ingin berkontribusi ke komunitas lokal lebih aktif lagi” Harry K. Nugraha (Country Manager Intel Indonesia). |
Jika ingin melihat akuarium sarat teknologi, Anda bisa berkunjung ke rumah Harry K. Nugraha. Berbagai sensor terpasang di akuarium air laut ini, mulai dari sensor volume air, keasaman, sampai kadar oksigen. Sistem pencahayaan akuarium ini bahkan terkoneksi ke internet sehingga selaras dengan siang, malam, dan mendungnya cuaca di luar.
Teknologi memang menjadi passion pria yang menjabat sebagai Country Manager Intel Indonesia sejak Desember 2014 ini. Padahal, latar belakang ilmunya adalah teknik mesin. “Saya sempat bekerja di Astra Daihatsu sebagai desainer mobil,” kenang Harry. Namun hasratnya di bidang teknologi membuat pria ini nekat hengkang ke NEC meski tidak memiliki pengetahuan tentang teknologi komunikasi. “Modal saya cuma bahasa Inggris,” ungkapnya sambil tertawa.
Namun, berangkat dari nol itu justru yang memacu Harry belajar dan bekerja lebih keras. “Saya mulai belajar tentang radio; apa itu radio microwave, wireless access, dan fiber optic” tambah Harry. Setelah itu, ia pindah ke Ericsson untuk belajar jaringan telekomunikasi. “Di sana saya belajar bagaimana menggelar jaringan GSM di Indonesia,” kenang Harry. Dua tahun kemudian, Harry pun beranjak ke dunia handset dengan menjadi Country Manager Qualcomm Indonesia.
Pengetahuan mendalam tentang industri seluler di Indonesia itulah yang kemudian membuat Intel tertarik merekrut Harry di tahun 2011. Berawal dari jabatan Director Strategic Development, karir Harry di Intel pun melejit sampai akhirnya dipercaya menjadi memimpin Intel Indonesia.
Pentingnya Kompetensi
Meskipun baru memimpin Intel Indonesia, Harry memahami betul apa yang ingin ia wujudkan di posisinya sekarang. “Saya ingin meningkatkan kompetensi lokal,” tambah pria kelahiran Tasikmalaya ini. Harry menganggap Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, namun perlu dorongan agar potensi itu bisa terkuak lebih maksimal.
Peningkatan kompetensi itu akan dilakukan di sisi internal maupun eksternal organisasi Intel Indonesia. “Saya ingin tim Intel Indonesia bisa bersaing dengan tim negara lain,” tambah Harry mengungkapkan rencananya di sisi internal.
Harry melihat timnya saat ini telah diisi talenta terbaik Indonesia, namun ia juga melihat sulitnya menemukan talenta baru. “Saat ini kami butuh waktu sekitar 6-7 bulan untuk mendapatkan talenta di Indonesia yang sesuai requirement Intel global,” tambah Harry.
Karena itu, selain meningkatkan talenta yang sekarang ada, Intel Indonesia juga serius di program internship. “Magang di Intel tidak cuma disuruh fotocopy,” kelakar Harry. Para peserta magang ini akan diberi tugas dan tanggung jawab khusus, bahkan tidak jarang dimarahi jika dianggap gagal. Dengan serius menggarap program magang, Intel berharap bisa menjaring talenta terbaik untuk tim mereka.
Sementara di sisi eksternal, Intel Indonesia juga ingin berkontribusi lebih besar ke komunitas lokal. Berbagai inisiatif pun dilakukan untuk membentuk ekosistem yang positif bagi para developer, seperti menyelenggarakan webinar dan melakukan meet-up.
Intel Indonesia juga mendorong developer lokal mengikuti Intel RealSense App Challenge 2014, yakni lomba aplikasi tingkat dunia yang memanfaatkan sensor 3D. Hasilnya pun terbilang membanggakan. “Developer Indonesia yang menjadi finalis mencapai 161 proposal, hanya kalah dari India (177 proposal. red),” ungkap Harry.
Peningkatan kompetensi lokal ini menjadi krusial seiring makin meningkatnya peran TI di berbagai sisi kehidupan. “Saat ini pemerintah, misalnya, sedang gencar mendorong e-government,” tambah Harry memberikan contoh. Ada kebutuhan yang tinggi dari pemerintah dan industri terhadap solusi TI yang bisa menyelesaikan masalah sekaligus meningkatkan efisiensi.
Kesempatan developer menjadi terbuka lebar karena setiap masalah membutuhkan solusi tersendiri. “Ini bukan barang yang tinggal dibawa lalu dipasang,” tambah Harry. Dibutuhkan kemampuan untuk mendefinisikan masalah, lalu membuat solusi yang menjawab masalah tersebut secara efisien. Pada kondisi inilah kompetensi developer dalam mendefinisikan masalah menjadi penting.
Intel pun siap mendorong solusi itu melalui produk berbasis IoT (Internet of Things) yang dimilikinya. “If it is smart and connected, it is best with Intel,” ungkap Harry menirukan mantra Intel. Solusi IoT Intel terbilang luas, mulai dari gateway pintar yang akan mengubah perangkat generasi lawas menjadi IoT-ready sampai prosesor mungil sebagai “otak” perangkat IoT. Intel kini memiliki komunitas Maker Community sebagai wadah developer memanfaatkan perangkat IoT Intel.
Kepedulian Harry terhadap potensi lokal sepertinya tidak lepas dari masa kecilnya yang sederhana di Tasikmalaya. Sang ayah berpulang ketika Harry masih kecil. Bencana meletusnya Gunung Galunggung pun mengubah hidupnya. “Jika Gunung Galunggung tidak meletus, saya tidak akan pindah ke Bandung,” ungkap ayah dari dua orang anak ini.
Namun Harry mengaku merasa beruntung dididik sang ibu yang berprofesi sebagai guru. Dan kini dengan jabatan penting yang ia sandang, Harry pun ingin membagi keberuntungan itu kepada anak muda Indonesia. Tentu saja melalui teknologi yang ia gandrungi.
0 komentar: