Berada di kawasan Asia Pasifik yang dinamis dalam pertumbuhan cloud, jalan Indonesia menuju awan ternyata masih panjang. Sebuah pekerjaan rumah yang mungkin tak ringan, tapi kesempatan pertumbuhan terbuka lebar.
Dibandingkan dengan enterprise mobility, big data analytics, dan social media, derap langkah komputasi awan atau cloud computing di negeri ini relatif lebih tertahan. Indonesia, menurut Cloud Maturity Model yang dikeluarkan Intenational Data Corporation (IDC), terseok di tahap ad-hoc. Satu-satunya negeri jiran yang berhasil kita ungguli adalah Malaysia.
Berada di tahap awal kematangan cloud atau ad-hoc berarti organisasi masih memosisikan cloud sebatas proyek percontohan atau pilot project. Permintaan implementasi cloud datang hanya dari satu dua pengambil keputusan/tim dalam organisasi tersebut.
Bandingkan misalnya dengan negara-negara yang bercokol di tahap managed ataupun optimized, di mana organisasi telah memanfaatkan cloud secara ekstensif, memiliki cloud first strategy, menuai manfaat cloud di sisi inovasi maupun efisiensi, dengan pimpinan bisnis maupun teknologi mendukung penuh strategi cloud.
Vendor Harus Mengedukasi dan Perlihatkan Kompetensi
Kabar baiknya adalah pasar cloud di Indonesia terus bertumbuh. “Peluang untuk berkembang ada, but it’s a slow market,” papar Sudev Bangah (Country Manager, IDC Indonesia).
Nilai total pasar cloud Indonesia mencapai US$169 juta tahun 2014 atau Rp2,12 triliun (dengan asumsi US$1 = Rp12.485). Di tahun 2015, angkanya diperkirakan naik hingga US$230 juta (Rp2,87 triliun). “[Di] tahun 2016, US$308 juta (Rp3,85 triliun) dan [di] 2017 mencapai US$378 juta (Rp4,72 triliun),” imbuh Sudev.
Dari data tersebut, kami mencatat pertumbuhan pasar cloud bergerak di angka 22 – 36% setiap tahun. Angka ini masih menyisakan ruang cukup besar bagi pebisnis cloud Indonesia untuk mengalami pertumbuhan dan perbaikan, bukan?
Menurut Sudev, ada beberapa faktor penyebab pertumbuhan cloud yang sedikit lambat di sini. Pertama, setiap perusahaan atau organisasi di Indonesia cenderung membangun data center masing-masing. Belum lagi, penyedia layanan data center yang terus membangun atau memperluas fasilitas data center, serta mendorong layanan collocation.
“Dengan menyediakan lebih banyak ruang, pasar tidak terdorong untuk bertransformasi ke cloud,” kata Sudev. Seandainya tidak ada lagi ruang tersisa di tempat penyedia layanan data center, pengguna tentu hanya memiliki dua pilihan: yakni membangun data center sendiri atau menggunakan cloud. Dua alasan tadi akan mendorong perkembangan cloud di Indonesia lebih melaju ke arah private cloud. “Atau saran saya, tawarkan managed services,” tandas Sudev Bangah.
Pasar tak cukup cepat menyerap tawaran cloud karena ia melihat calon pengguna belum sepenuhnya memahami nilai bisnis yang dapat mereka peroleh dari cloud. “Karena fase pertama implementasi teknologi terlewatkan oleh vendor ketika menawarkan konsep dan solusi cloud, yaitu proses fase business process issue identification,” tandas Sudev. Vendor umumnya langsung memasuki tahap technology selling (fase 2) dan technology deployment & adoption (fase 3).
“Lagipula cloud tidak bisa sendirian menyelesaikan masalah,” tambah Sudev. Ia mencontohkan dalam agribisnis, solusi cloud akan lebih optimal jika disandingkan dengan, misalnya, analytics, machine to machine, dan automation. Jadi, di tahun depan sepertinya penyedia layanan cloud masih harus banyak menggelar program edukasi dan mengemas solusi cloud yang lebih komprehensif mengakomodasi kebutuhan bisnis.
“Peluang pasar cloud di Indonesia untuk berkembang ada, but it’s a slow market,” kata Sudev Bangah (Country Manager, IDC Indonesia). |
Ketika public cloud yang ingin didorong di negeri ini, Sudev Bangah berharap penyedia layanan cloud lebih proaktif meyakinkan pengguna dan berani menjamin keamanan, ketersediaan tinggi, dan jaminan kinerja tinggi layanan cloud yang ditawarkan. “Perlihatkan bahwa cloud provider memang bersedia bertanggung jawab atas segala insiden yang terjadi, sesuai SLA yang dijanjikan,” imbuhnya.
Dan ketika private cloud yang menjadi garda terdepan penawaran, peluangnya terletak pada penyediaaan jasa profesional untuk membangun awan privat, mengintegrasikan sistem legacy ke cloud milik perusahaan, dan sebagainya.
Sementara untuk pengguna maupun calon pengguna cloud, Sudev Bangah menyarankan setiap perusahaan secara kritis menilai bagaimana teknologi informasi saat ini berkontribusi terhadap bisnis. “Dan secara kritis mencari solusi yang sesuai kebutuhan mereka, yaitu mencapai target bisnis,” pungkasnya.
Jangan Bangun Kapasitas TI untuk Cloud
Meski masih menjadi pemeringkat bawah dalam Cloud Readiness Index (CRI) yang dikeluarkan Asia Cloud Computing Association (ACCA), Indonesia terus memperlihatkan perbaikan berbagai kriteria kesiapan mengadopsi cloud.
Kalau di tahun 2011 dan 2013, kita menempati posisi kesebelas. Lalu tahun ini, posisi Indonesia melorot ke peringkat ke-12. Bagaimana di tahun 2015? “Tidak akan terjadi banyak perubahan secara substansi dalam indeks,” cetus May-Ann (Executive Director, Asia Cloud Computing Association) dalam sebuah wawancara via telepon dengan InfoKomputer.
Namun bukan berarti Indonesia akan terpuruk dalam hal implementasi cloud. “Malaysia dan Singapura telah melakukan cukup banyak perbaikan dan peningkatan terhadap berbagai aspek cloud readiness. Tapi peringkat mereka pun tidak beranjak naik,” ujar May-Ann. Pasalnya, setiap negara di kawasan ini sedang bergerak dalam kecepatan yang sama. “Indonesia harus bergerak jauh lebih cepat daripada yang lain kalau ingin naik peringkat,” imbuhnya.
Perbaikan dan peningkatan pun terjadi di Indonesia. Pemerintahan baru di negeri ini dilihat ACCA berdampak positif. “Pemerintah baru sangat menaruh perhatian pada e-government dan memastikan Indonesia mampu memasuki era digital,” jelas May-Ann.
Mengenai tantangan dalam beberapa tahun mendatang, May-Ann menyebutkan keunggulan kompetitif ekonomi di mata dunia akan menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. “Pertanyaannya, apakah Indonesia mampu membangun dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur untuk mengelola data, karena hal itu akan berdampak pada keunggulan kompetitif di bidang ekonomi,” jelasnya panjang lebar. Termasuk di dalamnya adalah perihal regulasi data localization.
Pertanyaan lain akan berkisar pada kebijakan tentang e-commerce dan electronic trade. “Apakah Indonesia akan mempermudah orang belanja secara elektronik, baik di pasar lokal maupun internasional,” ujar May-Ann.
Jika ingin belajar dari negara-negara yang berada di peringkat ever-ready leaders dalam CRI 2014, Managing Director TRPC ini menyarankan Indonesia tidak bersikap technology deterministic ketika mengembangkan infrastruktur dan SDM. “Jangan membangun untuk internet of things atau cloud, tapi bangun kapasitas memanfaatkan TI untuk produktivitas,” jelasnya.
0 komentar: