KESALAHAN INTERPRETASI KONSEP “PERSONA” CARL GUSTAV JUNG
Secara harfiah kata persona yang berasal dari bahasa latin mempunyai arti semacam topeng yang digunakan para pemain teater untuk bersandiwara di atas pentas.
Setelah saya membaca lebih lagi mengenai konsep ini dari Carl Jung, ternyata saya dan juga beberapa ahli psikologi lainnya memiliki kesalahan penafsiran mengenai konsep persona. Saya menganggap bahwa persona adalah sebuah topeng yang dipakai oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya untuk bersikap tidak apa adanya atau munafik.
Kemudian saat saya membuka kembali apa maksud sebenarnya konsep ini, ternyata saya dan juga “beberapa ahli psikologi” memiliki kesalahan dalam menginterpretasikan hal ini.
Jung sebenarnya memaksudkan persona adalah semacam peran yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya seorang pelukis memiliki identitas melalui kuas dan cat minyaknya, penyanyi dengan suaranya, professor dengan hal-hal yang bersifat keilmuan, seorang pembalap moto GP dengan motor dan kecepatan tinggi dan lain-lain.
Kata persona sendiri kemudian diadopsi kedalam bahasa Inggris yaitu personality yang mempunyai arti kepribadian. Saya mempunyai dugaan yang kuat bahwa sebenarnya Jung memilih kata persona dari bahasa latin yang berarti topeng yang digunakan seseorang dalam panggung sandiwara karena setiap pemeran dalam panggung sandiwara memiliki karakter atau ciri khasnya masing-masing.
Jika anda pernah mendengar atau melihat kalimat terkenal yang pernah ditulis oleh pujangga Inggris yang mahsyur William Shakespeare “manusia pada dasarnya hidup dalam panggung sandiwara, ada yang menjadi pemeran utama dan ada juga yang hanya menjadi figura, dan semuanya itu mempunyai pintu masuk dan keluarnya masing-masing”.
Kita bisa melihat hal ini dengan sangat mudah dalam kehidupan nyata, ada yang menjadi pengusaha dan ada yang menjadi manager suruhannya, ada yang menjadi tukang kebun dan ada yang menjadi seorang pilot. Ya, terkadang sastra lebih dalam mengkaji hidup dibanding ilmu lainnya.
Jadi disini bisa dilihat bahwa konsep persona sama sekali berbeda dengan konsep faking good dalam psikologi. Jung melihat bahwa manusia pada dasarnya hidup dalam dunia dimana manusia ingin mencari identitas, “siapakah dirinya yang sebenarnya?”. Identitas diri dan peran sosial biasanya terbentuk melalui pengalaman. Misalnya ketika seorang perempuan yang mempunyai hobi menulis dan ia sangat mengagumi Agatha Christie sejak ia masih berusia 10 tahun, ia akan berusaha mencari identitasnya sendiri atau paling tidak meniru identitas dari Agatha Christie.
Dan dalam proses tersebut tentu saja akan ada banyak masalah-masalah yang ia hadapi, dan kualitas persona seseorang akan teruji apabila ia bisa melewati masalah-masalah tersebut. Biasanya identitas inti seseorang akan terlihat ketika ia sedang terkena masalah yang berat.
Misalnya masalah perceraian dan hutang-piutang (saya mengambil dua contoh ini karena biasanya manusia akan sangat bereaksi dengan cepat ketika masalah-masalah tersebut berkaitan dengan hubungan emosional ataupun seksualitas dan juga uang). Letak kesalahan utama kita adalah seringkali melihat sesuatu secara tekstual saja dan tidak menelaah lebih jauh terhadap hal tersebut. Saya berharap bahwa ketika saya menuliskan hal ini kedepannya saya tidak akan melakukan kecurigaan atau prasangka yang mengarah secara salah menggunakan konsep persona ini.
Karena biasanya seorang ahli psikologi (dari pengalaman-pengalaman saya), cenderung terlalu banyak melakukan kecurigaan terhadap sesuatu dan salah satu idola saya yaitu Sigmund Freud juga seringkali melakukan hal yang sama. Freud dan Jung adalah dua orang yang memiliki intelektualitas yang tinggi, pada awalnya mereka berdua saling respek satu sama lain, namun mereka lupa bahwa sifat kedewasaan mereka yang terlalu berlebihan-lah yang membuat mereka berpisah.
0 komentar: