Sean Lee: Big Data dan Cloud, Akselerasi Transformasi Menuju Digital Banking

Namun dalam waktu dua-tiga tahun terakhir, kolaborasi beberapa faktor pendorong digital banking mengakselerasi tren tersebut. Salah satu yang terpenting adalah ekosistem yang semakin kokoh memampukan digital banking, antara lain akibat pertumbuhan penetrasi internet, adopsi smartphone, dan pertumbuhan e-commerce.
Sean Lee, Director, Head of Product Strategy for Asia Pasific & Jepan, Pivotal
Digital banking sebenarnya bukan sebuah tren baru, bahkan kehadirannya sudah diantisipasi perbankan sejak empat tahun lalu. Sejak 2011, menurut studi yang dilakukan McKinsey, pelanggan jasa keuangan mulai lebih sering menggunakan komputer, smartphone, atau komputer tablet ketika memanfaatkan layanan perbankan.

Namun dalam waktu dua-tiga tahun terakhir, kolaborasi beberapa faktor pendorong digital banking mengakselerasi tren tersebut. Salah satu yang terpenting adalah ekosistem yang semakin kokoh memampukan digital banking, antara lain akibat pertumbuhan penetrasi internet, adopsi smartphone, dan pertumbuhan e-commerce.

Menurut McKinsey Asia Personal Financial Services Survey, 2014, pengguna digital banking di negara-negara berkembang Asia—termasuk Indonesia—di tahun 2011 hanya mencapai 10% saja dari total responden. Namun angka tersebut tumbuh lebih dari 3 kali lipat di tahun 2014. Bahkan kanal banking melalui perangkat smartphone mengalami pertumbuhan sebesar 5,2 kali lipat.

Dengan kenyataan tersebut, mau tak mau dunia perbankan harus lebih serius dan fokus mentransformasi layanannya ke arah digital banking jika tidak ingin ditinggalkan para nasabahnya. Tak pelak, teknologi informasi (TI) berperan penting dalam proses transformasi ini.

Berikut adalah perbincangan khusus InfoKomputer mengenai tren digital banking dan transformasi teknologi bersama Sean Lee (Director, Head of Product Strategy for Asia Pasific & Jepan, Pivotal).

Saat ini, kita mendengar adanya berbagai istilah baru dalam bisnis perbankan, seperti virtual banking, branchless banking, atau digital banking. Apa bedanya?

Sean: Menurut saya, semua itu hanyalah istilah marketing dan dilihat dari perspektif bank-bank tradisional. Padahal saat ini, layanan perbankan bisa saja datang dari perusahaan selain bank. Mereka bisa memulai (layanan) bahkan tanpa membuka cabang. Perusahaan ini tidak akan menyebut layanannya sebagai branchless service karena memang mereka tidak memiliki cabang. Di industri, kami menggunakan istilah digital banking.

Menurut saya, ada kebutuhan (layanan) perbankan tetapi tidak harus selalu ada bank. Apa maksudnya? Kita semua pengguna layanan perbankan. Kita membutuhkan kartu kredit, deposito, pinjaman atau investasi. Namun pengertian bahwa layanan-layanan itu hanya bisa diperoleh dari bank sudah berubah.

Cara nasabah berinteraksi dengan bank juga berubah. Nasabah tidak harus mengantri, tidak perlu pergi ke bank. Nasabah memiliki lebih banyak pilihan. And, it’s a fundamental shift from more conventional banking to a new way of doing banking!

Apa arti perubahan itu bagi bisnis perbankan?

Sean: Bank umumnya memiliki aneka produk, dan secara tradisional, produk-produk tersebut diorganisasi dengan cara yang sangat isolatif. Bank umumnya memiliki berbagai divisi yang terpisah satu sama lain, dan sedikit sekali kolaborasi di antara mereka.

But in the digital world, it’s about what the customers want not by product. Misalnya, sebagai calon ayah, gaya hidup saya pasti akan berubah. Saya akan butuh asuransi dengan nilai lebih besar, saya akan membutuhkan rumah lebih luas. Gaya hidup saya akan berubah dan bank seharusnya tahu itu. Kalau bank terus menerus menawarkan produk yang saya tidak saya butuhkan, saya akan memilih bank lain.

Bank tahu bahwa perilaku nasabah berubah, demikian pula dengan keinginannya. Oleh karena itu bank harus mulai memikirkan apa yang harus mereka lakukan. Bukan hanya dengan membuat mobile apps. Bank juga harus mengubah cara mereka mengelola teknologi, mulai dari infrastruktur sampai dengan aplikasi, data, analitik, dan lain-lain.

Menurut Anda, sampai di level manakah perjalanan perbankan (termasuk di Indonesia) untuk menuju era digital banking?

Sean: Mereka sudah memulai. Tapi biasanya inisiatif digital banking datang dari dua pendekatan. Pertama, inisiatif digital banking dilakukan karena jajaran eksekutifnya bilang we have to be a digital bank, we have to think digitally because our customers have changed. Ini pendekatan top down.

Pendekatan yang kedua adalah bottom up. Para pemimpin TI di bank-bank tersebut memang berupaya menyiapkan TI-nya untuk menghadapi tren (digital banking). Yang cukup mengejutkan saya ketika bertemu dengan beberapa CIO bank di Indonesia, mereka (sudah memahami dan) bilang bahwa aspek manusia dan transformasi budaya adalah hal penting (dalam menjalankan inisiatif digital banking).

Menurut Anda, teknologi apa yang erat terkait dengan kesiapan bank menghadapi tren digital banking ini?

Sean: Ada dua aspek. Pertama, bank mencoba memahami nasabah dengan lebih baik, misalnya dengan menganalisis data yang ada, seperti data transaksi atau social media. Bank juga berupaya mengelola data yang mereka punya, creating some insights supaya mereka bisa melakukan, misalnya cross selling, upselling, atau bekerjasama dengan perusahaan non bank untuk meningkatkan jumlah nasabah. Dalam hal ini, big data is a very big topic.

Aspek kedua adalah cloud computing. Bank menyadari untuik mengelola aplikasi lama dan baru, mereka butuh compute platform baru untuk bisa mengurangi time to market. Bank ingin membuat produk dengan cepat sehingga mereka harus melakukannya dengan cara yang berbeda. Cloud memampukan itu.

Ada bank yang melihat dari perspektif private cloud, memanfaatkan data center miliknya sebagai cloud tapi untuk kebutuhan internal. Ada pula bank yang mempunyai project di mana mereka bekerja sama dengan cloud service provider, atau menggunakan fasilitas komputasi pihak lain. Cloud infrastructure adalah pembicaraan lain yang kritis bagi digital banking.

Apa yang ditawarkan Pivotal bagi perbankan dalam rangka transformasi menuju digital banking?

Sean: Pivotal Big Data Suite, dengan core yang terdiri atas teknologi dari Greenplum, teknologi data warehousing tetapi lebih scalable; GemFire, real time centric data engine; dan Hadoop. Di sisi cloud, kami memilik teknologi Cloud Foundry, sebuah platform cloud berbasis sistem operasi open source. So, we do big data and cloud.

Selain itu kami pun memiliki agile service Pivotal Labs. Pivotal memiliki 1700 karyawan di seluruh dunia dan sepertiganya bekerja di Pivotal Labs ini. Mereka mengembangkan software bersama customer kami, seperti Facebook, Uber, Tesla, bank, dan telco. Allstate, sebuah perusahaan asuransi terkemuka di Amerika, misalnya, menempatkan para pengembang aplikasinya di Pivotal Labs, bekerjasama dengan para engineer kami mengembangkan produk mereka.

Kami juga akan segera men-setup Pivotal Labs di kawasan Asia, salah satunya ada di Tokyo, Jepang. Juga di beberapa kota lain di Asia. All the major hubs in Asia. Bagaimana dengan Indonesia? Kita tunggu saja.