BUDI TEDJAPRAWIRA: PAHAM RETAIL LUAR DALAM

Sangat tepat memang jika membicarakan tentang pengelolaan TI di industri retail bersama pria bergelar Master di bidang Information System and Commerce dari Curtin University ini. Sepanjang lima belas tahun kariernya di bidang TI, ia tidak pernah lepas dari pemain-pemain besar di pasar retail. Walhasil, ia memahami betul masalah apa saja yang dihadapi oleh kebanyakan pelaku retail di Indonesia.
Budi Tedjaprawira (Head of ICS, PT Courts Retail Indonesia). [Foto: Abdul Aziz]
“Sejak kecil, saya sudah bertemu dengan banyaknya SKU (Stock Keeping Unit), khususnya benang,” kenang Budi Tedjaprawira (Head of ICS, PT Courts Retail Indonesia) ketika ditemui di kantornya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Ia mengisahkan bahwa orang tuanya memiliki usaha konveksi. Dari usia sekolah dasar, Budi cilik sudah rajin membantu kedua orang tuanya di toko.

“Orang tua saya kan belum mengerti manajemen. Jadi, saya berpikir bagaimana caranya supaya saat customer datang, saya bisa cepat mengetahui produk yang mereka inginkan. Lalu, saya berusaha menyusun benang-benang itu sesuai nomornya,” kata Budi. “Beralih dari situ, saya mencoba membenahi inventory di gudang yang berantakan. Dari situlah, muncul kecintaan terhadap retail,” lanjutnya.

Sangat tepat memang jika membicarakan tentang pengelolaan TI di industri retail bersama pria bergelar Master di bidang Information System and Commerce dari Curtin University ini. Sepanjang lima belas tahun kariernya di bidang TI, ia tidak pernah lepas dari pemain-pemain besar di pasar retail. Walhasil, ia memahami betul masalah apa saja yang dihadapi oleh kebanyakan pelaku retail di Indonesia.

Menurut Budi, kesulitan yang paling sering dihadapi pemimpin TI di industri retail tanah air adalah saat implementasi sistem. Pasalnya, business process yang digunakan oleh sebagian besar pemain retail Indonesia kerap bertolak belakang dengan proses yang dipakai di luar negeri.

“Bisnis retail di Indonesia itu rata-rata hampir 80 – 90% memakai metode consignment (konsinyasi/titip barang). Jumlah barang yang laku, itu yang dibayar. Di luar negeri sebaliknya, lebih banyak memakai metode direct purchase (beli putus),” ungkap Budi. Akibatnya, mayoritas sistem milik principal besar seperti SAP dan Oracle sulit untuk menyesuaikan dengan kondisi bisnis retail di Indonesia.

Lantas, apa solusi yang disarankan Budi? Mau tidak mau, pemimpin TI dan prinsipal penyedia solusi harus mau duduk bersama untuk melakukan adjustment dan kustomisasi terhadap sistem yang akan dipakai. Belum lagi proses pencatatan inventory di setiap retail berbeda-beda. Ada yang melakukan sendiri, ada yang diserahkan kepada pemasok (supplier).

Terdapat pula masalah yang berbenturan antara kepentingan pemasok dan kepentingan retail, contohnya mengenai pelacakan produk-produk yang paling laris. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan inventory di setiap toko dan juga kemungkinan peniruan produk yang laris oleh kompetitor. “Ada grey area; keduanya saling membutuhkan, tapi dari sisi bisnis, nggak mau ketemu. Ada bargaining yang harus dilakukan,” kata Budi.

Untunglah, problematika seperti itu tidak Budi temui ketika menangani Courts. “Karena kami sudah mendata inventory sendiri. Kami juga duduk bersama dengan supplier dan terjalin hubungan mutualisme,” tukasnya

Mengokohkan Fondasi

Budi telah memimpin divisi TI di Courts Indonesia sejak perusahaan retail yang berpusat di Inggris itu masuk ke Indonesia pada tahun 2014. Selama hampir setahun bekerja, ia mengaku telah berhasil meletakkan fondasi berupa infrastruktur TI yang relatif stabil. Fondasi ini sangat penting karena Courts memunyai strategi ekspansi yang agresif pada tahun 2015.

Setelah membuka Courts Megastore di atas lahan seluas dua hektar di Kota Harapan Indah, Bekasi, pada Oktober 2014, Courts Indonesia baru-baru ini membuka dua cabang baru di Mega Bekasi Hypermal dan di Bogor. Kawasan Jabodetabek masih menjadi fokus pengembangan mereka. “Di industri retail, kalau infrastruktur sudah ready, kita mau ekspansi ke mana pun akan lebih enak,” tuturnya.

Di atas infrastruktur yang sudah kokoh, Budi mengimplementasi sistem ERP berbasis Navision atau sekarang dikenal dengan nama Microsoft Dynamics NAV. Untuk sistem PoS (Point of Sales)-nya, ia memilih solusi dari LS Retail.

Dalam beberapa bulan terakhir, fokus Budi adalah menstabilkan sistem dan melatih user untuk lebih familiar dengan Navision, karena sebelumnya mereka terbiasa memakai SAP atau Oracle.

Setelah sistem stabil, langkah selanjutnya yaitu mengoptimalkan reporting untuk mendukung bisnis. Misalnya mempermudah analisis tren produk yang paling laku, perhitungan margin, dan sebagainya. Budi menargetkan pada Oktober 2015 nanti, timnya bisa meng-upgrade dari Navision versi 4 ke Navision 2013.

“Di versi baru ini, tampilannya lebih user friendly. User bisa langsung melakukan analisis sendiri karena menarik data lebih gampang, nggak perlu bantuan staf TI. Membuat report cukup pakai pivot table langsung jadi. Inventory langsung terlihat di grafik sehingga buyer bisa ambil action lebih cepat,” papar Budi.
Untuk efisiensi, Budi berupaya menumbuhkan budaya paperless. Perlahan-lahan, proses ke arah sana mulai terlihat. Printer di kantor sudah tersentralisasi, purchase order diurus melalui e-mail. “Tinggal mengubah kebiasaan karyawan secara internal yang terbiasa dengan dokumen cetak,” imbuhnya.
“Saya kira, retail is detail. Dari satu perusahaan ke perusahaan retail lain, masing-masing punya seni tersendiri. Itu yang saya nikmati,” tukas Budi Tedjaprawira.
Mengubah Fungsi TI

Menatap masa depan, Budi memiliki visi menjadikan TI di Courts Indonesia berubah fungsi dari cost center menjadi sumber efisiensi, inovasi, sekaligus tulang punggung perusahaan.

Untuk efisiensi, Budi berupaya menumbuhkan budaya paperless. Perlahan-lahan, proses ke arah sana mulai terlihat. Printer di kantor sudah tersentralisasi, purchase order diurus melalui e-mail. “Tinggal mengubah kebiasaan karyawan secara internal yang terbiasa dengan dokumen cetak,” imbuhnya.

Dari sisi inovasi atau IT as added value, yang sudah berjalan saat ini yaitu ketersediaan iPad di toko-toko Courts yang dilengkapi aplikasi Sofa Maker. Gunanya bagi pelanggan yang ingin membeli sofa dengan kustomisasi desain dan warna sesuai selera. Strategi berikut yang akan dilakukan adalah membuka kanal e-commerce.

Sementara untuk menjadikan TI sebagai tulang punggung perusahaan, infrastruktur dan sistem harus dimatangkan supaya menjaga availability. DRC (Disaster Recovery Center) sedang dikembangkan. Pasalnya, seluruh proses di Courts dijalankan real time. Setiap dua jam, harus ada update informasi penjualan dari toko-toko sampai ke kantor regional di Singapura. “Kalau sampai down lima menit saja, operasional bisa terganggu,” ucap Budi.

Setelah lima belas tahun bergelut di industri retail, apakah Budi tidak merasa bosan? “Saya kira, retail is detail. Kalau dilihat dari satu perusahaan ke perusahaan retail lain, banyak business process yang berbeda. Masing-masing punya seni tersendiri. Itu yang saya nikmati,” jawab pehobi berenang itu.

Budi mengaku banyak belajar di setiap perusahaan yang pernah dikelola. Mulai dari belajar kolaborasi cara berpikir antara bisnis dan TI, belajar mengelola TI di jaringan retail yang mencapai ratusan toko, sampai memahami cara mengelola TI secara real time. Tidak mengherankan kalau ia paham luar dalam industri ini.

Wajar jika Budi bercita-cita, suatu saat nanti ingin membuka bisnis yang menyediakan solusi customized ERP untuk kebutuhan retail di Indonesia. “Ini segmennya masih kecil sekali. Kalau bisa digarap, potensi ke depan cukup luar biasa,” ia meyakini