Erwin Sukiato, Country Manager SAS Indonesia. Foto: Alphons Mardjono |
Akankah kenyamanan kerja selalu berbanding lurus dengan megahnya gedung kantor, lengkapnya fasilitas gym yang tersedia tempat kerja, atau tebalnya amplop yang tersodor ke Anda di akhir bulan? Esensinya adalah keseimbangan.
SAS Institute sejak lama dikenal sebagai salah satu tempat bekerja terbaik di Amerika, maupun dunia. Sampai tahun ini, terhitung sudah delapan kali (sampai Juni 2014, sembilan kali, .red), perusahaan yang dipimpin Jim Goodnight ini bercokol dalam daftar 100 Best Companies to Work For versi majalah Fortune. Prestasi terbaiknya adalah di tahun 2010 dan 2011, duduk di peringkat pertama dan menjungkalkan Google Inc., langganan top performer di ajang ini.
Great Place to Work Institute bahkan bahkan mendaulat SAS Institute sebagai tempat kerja ternyaman nomor satu di dunia. Ajang yang bernama Top 25 World’s Best Multinational Workplaces mensyaratkan, antara lain, kebijakan dan praktik Human Resources yang baik dan mendukung culture of trust antara karyawan dan perusahaan. Selain itu, pemeringkatan dilakukan Great Place to Work Insitute berdasarkan masukan dari karyawan perusahaan yang bersangkutan.
Bagaimana definisi Erwin Sukiato (Country Manager, PT SAS Indonesia) tentang best place to work for? “If I’m not dragging my feet to work every moring, artinya saya sudah berada di tempat yang nyaman untuk bekerja,” ucapnya seraya tersenyum. Namun ia mengingatkan bahwa definisi setiap orang bisa berbeda tentang kenyamanan di tempat kerja.
Di markas SAS Institute di Cary, North Carolina, AS, kenyamanan tersebut tercermin dari, antara lain, kelengkapan fasilitas bagi para karyawan di lingkungan kantor—yang diistilahkan SAS sebagai kampus. Fasilitas kesehatan, fitness center, child care bersubsidi, dan berbagai fasilitas lain sengaja disediakan agar karyawan merasa nyaman.
Namun jangan bayangkan 400 kantor SAS di seluruh dunia menawarkan fasilitas selengkap itu. Fasilitas super lengkap atau gaji dan bonus tinggi tidak selalu menjadi barometer kenyamanan. Rahasia SAS di balik kesuksesan menciptakan tempat yang nyaman adalah konsep work life balance.
“Kami mengadopsi lokalisasi untuk membuat karyawan satisfied dan nyaman. Misalnya, seperti di sini, SAS Indonesia memberikan benefit kesejahteraan dalam hal medical yang baik,” jelas profesional berpengalaman lebih dari 20 tahun di bisnis TI ini.
Aturan jam kantor pun dapat mencerminkan konsep work life balance. Aturan nine to five di lingkungan SAS saat ini, misalnya, tidak lagi bisa diterapkan. “Saya datang jam 9.30, karena ingin olah raga dulu. Dan saya pulang jam 9 malam. Work life balance for me!” kata Erwin seraya menambahkan pekerjaannya memungkinkan aturan demikian. “Tetapi saya tidak bisa bilang bahwa semua orang bisa menerapkan seperti itu,” tambah pria kelahiran Tanjung Pinang ini. Ya, karena keseimbangan setiap orang memang berbeda-beda.
Menemukan keseimbangan yang pas antara kehidupan pribadi dan kerja adalah tugas si karyawan sendiri. “Employee yang berperan besar di situ. Dan ketika dapat menentukan sendiri work life balance-nya, itu adalah kepuasan tersendiri bagi karyawan,” ujar sarjana Business Management dari Waikato Polytechnic, Selandia Baru ini.
Erwin Sukiato kemudian mengingatkan bahwa karyawan dapat menentukan work life balance apabila diberi kebebasan. Ia tidak khawatir karyawan akan memanfaatkan kebebasan dengan cara yang kebablasan.
Dalam konsep leadership yang dianutnya, Erwin Sukiato memberikan accountability di balik kebebasan tersebut dan memagari dengan Key Performance Indicator yang jelas. “Kami mengerjakan segala sesuatunya dengan accountability. Misalnya hari ini saya harus menyelesaikan tugas sampai jam 10 malam, dan besoknya ngantor jam 10 pagi pun nggak masalah,” jelasnya.
Sejak awal, Jim Goodnight dan para founder SAS meyakini satu hal: satisfied employee creates satisfied customers. Tercapai keseimbangan, puas lah karyawan, dan puas pula pelanggan.
0 komentar: