ILMUWAN: EBOLA BUKAN VIRUS SUPER

Virus Ebola, khususnya yang menyebar di Afrika Barat, pernah dikabarkan menjadi galur virus yang bermutasi dua kali lebih cepat dari galur virus Ebola lainnya. Hoenen menyebut kesimpulan itu terlalu cepat.
Washington - Ilmuwan dari National Institutes of Health, Amerika Serikat, baru-baru ini membantah predikat 'supervirus' yang disematkan pada virus Ebola, yang menjangkiti warga di Afrika Barat. Mereka menyebut virus tersebut tak bermutasi secepat yang pernah dilaporkan dalam penelitian sebelumnya. Sehingga, temuan baru ini diharapkan bisa meredam kengerian global pada Ebola.

Kajian yang sudah diterbitkan pada jurnal Science itu, menjelaskan gen virus relatif identik sejak sampel diambil pada sembilan bulan lalu dari orang yang terinfeksi Ebola. Hal itu menandakan virus hanya mengalami sedikit mutasi saja.

"Kami tak punya bukti bila Ebola bermutasi jauh lebih cepat dari yang pernah dilaporkan penelitian sebelumnya," kata Thomas Hoenen, ahli virologi di NHI, seperti dikutip dari Live Science, Jumat, 27 Maret 2015.

Virus Ebola, khususnya yang menyebar di Afrika Barat, pernah dikabarkan menjadi galur virus yang bermutasi dua kali lebih cepat dari galur virus Ebola lainnya. Hoenen menyebut kesimpulan itu terlalu cepat.

Sebab, peneliti hanya mengamati virus selama tiga bulan. "Pengamatan dalam jangka panjang ternyata memberi hasil yang mengejutkan," ujarnya.

Ebola menjadi kajian menarik bagi pakar virologi karena jenisnya yang merupakan virus Ribonucleic Acid (RNA), saudara kembar DNA. Karakter virus RNA punya kemampuan berkembang lebih cepat dibanding virus DNA.

"Temuan baru menjelaskan jenis virus Ebola tak jauh berbeda dengan Rhinovirus yang memicu demam ringan," kata Angela Rasmussen, peneliti mikrobilogi di University of Washington.

Dia menambahkan fakta baru soal virus Ebola di Afrika Barat merupakan kabar gembira. Sebab, beberapa varian obat dan vaksin Ebola yang pernah dikembangkan untuk penduduk di Afrika Tengah diyakini masih ampuh mengobati warga di Afrika Barat.

Ebola di Afrika Barat telah menjangkiti 25 ribu orang dan menewaskan 10.300 orang sejak pertama kali merebak. Beberapa obat dan vaksin sedang dikembangkan untuk mengobati dan menangkal virus tersebut.