Setelah menimba ilmu selama enam tahun di Amerika Serikat, Rama Notowidigdo (Chief Technology Officer, Kartuku) memilih untuk meniti karier di Silicon Valley, pusat pengembangan teknologi di negara Paman Sam tersebut. Di sana, ia pernah bekerja di Monster.com dan Oracle.
Di perusahaan terakhir tempatnya bekerja, Rama menangani tim yang berlokasi di Chennai, India. Dijuluki sebagai “Silicon Valley kedua di India”, Chennai dipenuhi kantor dari berbagai perusahaan teknologi terkemuka serta limpahan sumber daya TI yang berkualitas. Rama kagum dengan kondisi tersebut. “Kalau India bisa, Indonesia juga bisa. Yang dibutuhkan adalah mentoring dan coaching dari orang-orang yang pernah melakukan [pekerjaan di Silicon Valley],” tukasnya.
Atas alasan itulah, Rama memutuskan untuk pulang ke Indonesia pada tahun 2011. Di sini, ia bergabung dengan Kartuku, yang awalnya dikenal hanya sebagai penyedia EDC (Electronic Data Capture) pada tahun 2001. Kartuku lalu melakukan perubahan penuh pada tahun 2006 sebagai perusahaan teknologi finansial dengan solusi layanan pembayaran end-to-end melalui pembangunan infrastruktur jaringan terintegrasi serta produk pendukung untuk memenuhi kebutuhan ritel, perbankan, dan operator finansial.
Rama ingin mengadopsi budaya kerja Silicon Valley di sini; membentuk sumber daya TI yang bisa berperan selaku engineers, memahami keseluruhan struktur dan proses kerja serta mampu memunculkan solusi teknologi pembayaran terhadap masalah yang ada.
![]() |
“Programmers jago implementasi, tapi nggak paham [isinya]. Sedangkan engineers mengetahui keseluruhan struktur aplikasinya. Jadi, saya harus membentuk orang-orang ini menjadi engineers,” ucap Rama. |
Membangun Kultur Baru
Rama mengakui, pada awalnya ia menyangka bahwa proses adopsi ini dapat berlangsung cepat. “Dulu saya masih naif. Perkiraan saya, dua bulan bisa,” ujarnya sambil tertawa. Tapi, seiring perubahan berjalan, ia menyadari bahwa tidak semudah itu mengubah mindset orang.
Menurut Rama, kebanyakan perusahaan TI di Indonesia itu adalah system integrator. Tugasnya menjual produk dan mengimplementasikannya di sisi pelanggan. “They don’t really build anything,” sebut pemegang gelar MBA dari Saint Louis University ini
Masalahnya, orang-orang belum familiar dengan perusahaan internet yang membangun solusinya dari nol. Para lulusan kampus top umumnya dididik menjadi programmer, bukan engineer. “Programmers jago implementasi, tapi nggak paham [isinya]. Sedangkan engineers mengetahui keseluruhan struktur aplikasinya. Jadi, saya harus membentuk orang-orang ini menjadi engineers,” ucap Rama.
Rama pun aktif bergerak ke beberapa kampus untuk memperkenalkan Kartuku sebagai sebuah perusahaan teknologi. Keberadaan dua kantor Kartuku di Jakarta dan Bandung pun dimaksudkan dapat memantau sumber daya TI yang prospektif untuk digembleng menjadi engineers.
“Kami ambil mahasiswa magang dari UI dan ITB, lalu diperkenalkan dengan kultur kerja, employee branding, dan bridging teknologi. Yang mereka pelajari di kampus ternyata sangat basic dan nggak nyambung dengan kebutuhan kerja,” kata pehobi olahraga ini.
Salah satu transformasi yang dilakukan Rama adalah di tim R&D (Research & Development). Mereka dididik supaya tidak lagi bekerja berdasarkan proyek, tetapi dituntut menciptakan produk baru.
Walhasil, mereka mesti punya inisiatif dan kreativitas, tidak lagi menunggu permintaan dari pelanggan. Mereka harus berpikir secara jangka panjang dan menjalankan peran sebagai Product Manager. Rama juga memperkenalkan metode agile-scrum process dalam pembuatan produk yang dipandang lebih cepat daripada metode waterfall yang tradisional.
“Tapi, dalam proses ini, saya belajar. Tidak semua orang cocok menjadi engineers. Tetap ada orang-orang yang memang lebih cocok menjadi programmers. Karena itu, ke depan saya akan membagi tim menjadi dua, project team yang diisi para programmers yang cenderung menunggu requirement dan product team diisi para engineer yang lebih proaktif,” papar Rama.
Menambah Value-added Service
Hasilnya, sebagai perusahaan teknologi, layanan pembayaran Kartuku berhasil membangun sendiri solusi-solusi yang beragam dan bisa dijual kepada banyak pelanggan.
Kalau sebelumnya Kartuku yang hanya menyewakan mesin EDC kepada bank-bank, saat ini mereka telah memunyai solusi Unified Payment dengan jaringan berbasis cloud yang dapat dihubungkan ke berbagai end-point (atau channel, termasuk e-commerce, Mini ATM, m-banking, dan cashiers). Solusi ini memungkinkan berbagai end-point terhubung dengan sistem pembayaran yang disediakan bagi ritel dan operator finansial.
Kartuku sekarang ini sudah bekerjasama dengan 10 dari 12 acquiring bank dan menciptakan merchant network (ritel) papan atas di Indonesia.
Kartuku mengambil porsi sebanyak 31 persen dari total 800.000 EDC yang digunakan oleh 47 dari top 100 merchants dan tercatat sebanyak 50 juta volume transaksi tercapai di tahun 2013 lalu. Kinerja pesat Kartuku termasuk memberikan pelayanan dengan 39 service point yang tersebar di 111 kota di seluruh Indonesia.
Dengan jaringan yang demikian luas, Kartuku bisa menambah value-added service di atas platform Unified Payment tersebut. Misalnya Bill Payment, Transaction Management Solution, Pension Disbursement, Reward Management, Top Up dan Pre-paid. Ada pula layanan rekonsiliasi, virtual account, dan remote software download. Layanan yang disebut terakhir sangat penting terutama bagi endpoint yang berada di daerah, karena pembaruan software dapat dilakukan dari jarak jauh, tidak perlu lagi mengirim teknisi.
Dari sisi infrastruktur, Rama menjamin Kartuku bisa diandalkan dengan garansi uptime 99%. “Kami pastikan tidak ada single point of failure. Semua harus redundant, ada backup-nya. Kalau dial-up putus, ada sambungan GPRS, ada juga modem 3G-nya. Pokoknya jaringan harus tetap up,” klaimnya.
Soal keamanan pun sangat diperhatikan dengan perolehan standardisasi Payment Card Data Security Standard 3.0 (PCI DSS 3.0) yang mewakili serangkaian praktik keamanan yang membantu memastikan keamanan penanganan daya kartu pembayaran.
Inilah standar tertinggi di industri keamanan pembayaran saat ini yang baru saja diberikan kepada Kartuku awal bulan November lalu. “Bahkan, bank-bank di Indonesia masih berada di standar PCI DSS 2.0,” ujar Rama.
0 komentar: