Richard Harshman, Head of ASEAN, Amazon Web Services |
Di awal kemunculannya, cloud computing dianggap paling cocok mengakomodasi kebutuhan komputasi pebisnis skala kecil ataupun perusahaan pemula (startup) yang umumnya tidak ingin repot mengurus infrastruktur teknologi informasi (TI). Namun sering berjalannya waktu dan perkembangan cloud, tak sedikit perusahaan besar yang mengoperasikan data center sepenuhnya di atas awan.
“Seiring waktu, kami yakin nantinya perusahaan tidak lagi ingin memiliki dan atau mengelola pusat data sendiri,” cetus Richard Harshman, Head of ASEAN, Amazon Web Services (AWS) dalam konferensi pers pertama AWS di Indonesia, di Jakarta.
Mengapa? Pertama, memiliki dan mengelola infrastruktur sendiri berarti capital expenditure (capex) besar. Namun yang paling dibutuhkan perusahaan saat ini, menurut Richard, adalah kelincahan (agility) dan time to market yang lebih cepat.
Richard mencontohkan News Corp, perusahaan global di bidang media, yang memindahkan data centernya ke public cloud AWS. Walhasil data center fisik yang semula berjumlah 46—dengan sekitar 13 ribu server dan data sebesar 6 peta byte di dalamnya—dipangkas hingga 6 saja. Tengok juga Archipelago International, international hotel group dari Indonesia, yang memercayakan website komersial, server produksi, sistem backup, dan beberapa critical file berjalan di atas platform cloud AWS.
“Perusahaan yang mengoperasikan lebih dari 100 hotel di Indonesia, Filipina dan Malaysia ini berhasil memotong waktu untuk procurement dan setup infrastruktur dari 5-10 minggu menjadi beberapa menit saja. Mereka juga berhasil menghemat 210 ribu dolar per tahun dengan mengurangi capex dan opex, biaya sewa ruang (data center), dan listrik,” papar Richard.
Kalaupun tidak memindahkan data center ke cloud, cukup banyak pula klien AWS yang menggunakan public cloud untuk menjalankan aplikasi yang bersifat mission critical bagi bisnis. Salah satu contoh yang dikemukanan Richard Harshman adalah Jollibee Foods Corporation. Pebisnis asal Filipina yang memiliki 2500 toko di seluruh dunia ini telah memigrasikan beberapa aplikasi enterprise inti ke cloud, seperti supplier management system dan warehouse management system. “Mereka juga menempatkan online ordering platform untuk pelanggannya di AWS,” imbuh Richard.
Platform cloud AWS juga ditandemkan dengan sistem on premise milik kliennya untuk menunjang pengoperasian hybrid IT architecture. “Ini penting terutama bagi perusahaan di Indonesia karena ada regulasi yang harus mereka patuhi, misalnya data yang harus tetap berada di Indonesia,” kata Richard. Dalam arsitektur hibrida ini, perusahaan dapat tetap menyimpan databasenya secara on premise, tetapi pemrosesan data, penyimpanan front end layer atau app layer di AWS.
Samsung, misalnya, memilih skema hibrida ini untuk meningkatkan kinerja aplikasi smart hub yang dijalankan secara on premise. Dengan skema ini, payment gateway aplikasi tersebut, berikut data transaksi keuangan, tetap berada di data center Samsung, sementara proses-proses lain dari aplikasi tersebut yang tidak terkait proses transaksi finansial akan berjalan di AWS.
Sejak pertama kali diluncurkan tahun 2006, AWS terus menerus mengembangkan jenis layanan cloud yang ditawarkan. Saat ini ada lebih dari 40 layanan di atas platform AWS, seperti layanan compute, storage, networking, database, analytics, application services, deplyoment, management, dan mobile. Khususnya untuk mendukung hybrid IT architecture, AWS menyediakan beberpa layanan, seperti integrated networking berupa virtual private cloud dan direct connect (koneksi MPLS langsung ke data center AWS), integrated identity services, directory services, federation services, integrated management, deplyoment services, dan backup services.
0 komentar: