Sebuah artikel penting: Freakonomics: What Went Wrong, oleh Andrew Gelman dan Kaiser Fung membahas beberapa hal yang bisa membuat sebuah usaha mempopulerkan sains tergelincir dengan membuat kesalahan yang sebetulnya bisa dihindari. Tulisannya lebih mengenai popularisasi penerapan statistik di ilmu sosial, tapi saya pikir bisa dijadikan referensi bagi para ilmuwan yang tertarik dengan popularisasi sains.
Gelman dan Fung membahas bagaimana sebuah karya sains populer yang bagus seperti Freakonomics tergelincir menjadi sebuah brand yang melakukan kesalahan yang tak perlu.
Saya anjurkan anda membaca artikelnya secara lengkap, disini saya hanya tulis beberapa poin saja:
- Bias disiplin ilmu atau pertemanan. Sebuah disiplin ilmu adalah spesialisasi. Dari spesialisasinya terkadang muncul penemuan yang cukup umum sehingga relevan terhadap publik. Ketika menjadi cukup umum, biasanya ada beberapa disiplin ilmu yang merasa lebih berhak melakukan klaim. Gelman dan Fung memberikan contoh ketika ekonom Emily Oster melakukan kesalahan dan mengakui kesalahannya, para ekonom merayakannya sebagai contoh kejujuran ilmiah; tetapi mereka tidak menyebut hasil penelitian oleh Monica Das Gupta yang lebih baik dan benar. Karena bias disiplin ilmu atau pertemanan ini, ilmuwan dapat tergelincir dengan lebih peduli pada membela kolega atau disiplin ilmunya daripada ilmu itu sendiri. Gelman dan fung menulis
Our point is not that Das Gupta had to be right and Oster wrong, but that Levitt and Dubner, in their celebration of economics and economists, suspended their critical thinking.
- Adanya jurang antara riset sebenarnya dengan beritanya di media. Berita di media cenderung tidak akurat ketika memberitakan hasil riset ke publik. Gelman dan Fung menulis seperti ini (sebuah penjelasan yang khas Gelman):
It’s hard to be sure what process an author uses. But by appearances, the way the authors of the Freakonomics series make their work is too linear to provide adequate vetting of research. In SuperFreakonomics, for instance, economist Steven Levitt trusts authors of primary research whom he knows or respects. Journalist Stephen J. Dubner trusts Levitt’s assessment of their work, and together they create narratives about it. The book’s editors seem by and large to have trusted the authors’ account, delivering it to readers who place trust in the Freakonomics brand. Although there may be more opportunities for feedback along the way than outsiders can discern, the problems and errors encountered in the authors’ work suggest that there is room for improvement.
- Pentingnya tidak menurunkan standar sains menjadi sekedar cerita yang masuk akal (“plausible stories”) atau argumentasi dengan data (“data-supported reasoning”); sains lebih dari keduanya. Mengutip penemuan ilmiah tidak menjadikannya sains; juga penggunaan data tidak otomatis menjadikannya sains. Kita harus melihat persoalan dari berbagai sudut pandang, dan selalu melihat penjelasan lain yang mungkin bisa terjadi.Sains memaksa kita untuk selalu melihat alternatif-alternatif yang ada.
- Keinginan untuk menghasilkan riset yang “menarik”, counterintuitive melawan “akal sehat” atau pandangan umum yang berlaku. Akhir-akhir ini, riset yang berhubungan dengan perilaku manusia dan fenomena sosial yang mendapat publikasi besar di media massa adalah riset-riset yang seolah-olah bertentangan dengan apa yang diyakini kebanyakan orang. Keinginan untuk mendapatkan hasil menarik ini dapat membuat ilmuwan lengah dalam menjaga kekukuhan argumen.
- Berhubungan dengan poin sebelumnya yaitu penyakit popularitas. Sekali menjadi popular, orang (termasuk ilmuwan) cenderung ingin mempertahankan popularitasnya. Akibatnya tuntutan untuk menghasilkan karya-karya besar dan menarik semakin tinggi, deadline yang semakin banyak yang akhirnya dapat menurunkan kualitas riset.
0 komentar: