![]() |
Lucky Ida Royani (Corporate IT Division Head, PT Bakrieland Development, Tbk.). [Foto: Alphons Mardjono] |
Bukan hal yang mudah untuk membidani divisi TI di sebuah perusahaan yang telah berumur lebih dari dua dekade. Mindset lama terhadap divisi TI adalah fungsinya sekadar IT support. Kehadirannya hanya diperlukan untuk mengurusi masalah-masalah teknis.
Cara pandang ini yang ingin diubah oleh Lucky Ida Royani ketika dipercaya sebagai Corporate IT Division Head di PT Bakrieland Development, Tbk., dua setengah tahun yang lalu.
Lucky mendefinisikan perjalanan TI di Bakrieland ke dalam tiga fase. Pertama, sebagai IT support, yang sudah dilakukan sejak perusahaan properti ini berdiri. Kedua, sebagai business partner, peran yang sedang dijalankan di bawah komando Lucky sekarang. Terakhir, fase ketiga masih berada di masa depan. “Someday, saya ingin [divisi TI] bisa sampai di titik business enabler,” tukasnya.
Ketiga fase ini adalah perjalanan dan perubahan teknologi informasi di Bakrieland sebagai perusahaan properti terintegrasi dalam pencapaian support excellence, operational excellence dan management excellence.
Proses transformasi menuju IT as business enabler inilah yang sedang dikawal oleh Lucky. Ia memulainya dengan otomatisasi berbagai proses di level operasional.
Jika sebelumnya divisi TI masih berkutat di level “bawah”, sekarang mereka sudah bisa bergerak ke level strategis. “Organisasi TI di Bakrieland sifatnya lebih middle strategic ke atas. Bukan lagi di level coder atau teknisi,” kata Lucky. Pembaruan ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta mendukung kecepatan dan akurasi dalam pengambilan keputusan bisnis.
Seluruh langkah strategis dari divisi TI di Bakrieland selalu berawal dari kebutuhan dari user. Masalahnya, user kerap tidak mengerti cara mendeskripsikan kebutuhannya. “Tugas kami untuk membahasakan user requirement ini, lalu difasilitasi ke dalam business requirement. Setelah itu, baru diterjemahkan solusinya. Apakah bentuknya infrastruktur, aplikasi, web, ERP, atau policy lainnya,” papar Lucky.
“Kami perlu menstimulasi user, mereka mau feature apa saja, prosesnya seperti apa, responsnya bagaimana. Dengan demikian, kami bisa meminimalisasi gap antara business requirement dan IT solution yang akan kami deliver,” imbuh ibu satu orang anak ini.
Lama proses, mulai dari pengumpulan user requirement hingga men-deliver solusi, bergantung pada skala implementasi. Proyek berskala kecil umumnya memakan waktu dua minggu sampai satu bulan. Tapi, kalau terkait solusi berbasis enterprise, seperti ERP, bisa sampai enam bulan. Untuk penyedia dan pelaksana proyek, mereka bekerjasama dengan mitra kerja yang membantu selama proses ini berlangsung.
Persuasi dan Edukasi
Adalah tantangan tersendiri bagi Lucky dalam upaya mewujudkan transformasi peranan TI di Bakrieland. Ia harus menghadapi dua pihak yang berbeda, manajemen dan user, dengan kebutuhan yang berbeda pula.
Guna meyakinkan manajemen dalam menerapkan solusi TI, Lucky senantiasa menempuh cara persuasif. “Kami munculkan [alasan] pro dan kontranya. Bandingkan benefit dan risk-nya kalau solusi itu tidak diimplementasikan. Kami berikan data-data sebagai bukti pendukung supaya mereka juga bisa melakukan analisis di level eksekutif,” ungkapnya.
Kebiasaan pihak manajemen di masa lalu yang kerap mem-bypass peran divisi TI juga kini mulai diubah.
“Dulu, kalau mereka butuh aplikasi, mereka sendiri yang negosiasi dengan vendor, tanpa melibatkan divisi TI. Sekarang tidak boleh. Semua harus mengikuti proses yang kami tentukan,” sebut Lucky. “Kalau ada masalah dengan TI, hanya disampaikan secara informal, lewat obrolan saja. Jadi, tidak terekam permasalahannya, analisisnya, apa yang dilakukan. Sekarang harus lewat formal process, semuanya terekam dengan baik, bisa diaudit dan terkontrol,” ia melanjutkan ceritanya.
Sementara itu, menghadapi user yang masih memiliki pola pikir TI sebagai support, Lucky berinisiatif untuk melakukan edukasi terhadap mereka. Caranya dengan membuat database knowledge berdasarkan kasus-kasus yang sering terjadi dan berulang.
Selain itu, diadakan diskusi tentang cara troubleshooting untuk masalah-masalah TI yang mendasar sehingga terjadi peningkatan dalam hal behaviour dan experience user dalam melakukan troubleshooting dan IT basic lainnya.
Menciptakan Value
Eksistensi Lucky di bidang TI memang “baru” sekitar sebelas tahun. Akan tetapi, lulusan STT Telkom Bandung ini telah mencicipi berbagai posisi di bidang IT, mulai dari programmer, system implementator, quality assurance, customer support, project coordinator, sampai project manager. “Boleh dikatakan, from end to end, saya sudah cukup mengenal bagaimana men-deliver satu solusi,” ucapnya.
Padahal, perkenalannya dengan dunia TI baru diawali di masa SMA. Saat itu, ia mengagumi temannya yang hobi programming dan ia memandang orang TI mempunyai wawasan yang logis, terstruktur, dan terbuka. Ketertarikan ini semakin menjadi-jadi di bangku kuliah.
“Dengan TI, saya bisa memfasilitasi banyak orang, membantu dan memberikan kemudahan,” ujarnya. Inilah yang Lucky lihat sebagai suatu value yang luar biasa sehingga ia memantapkan kariernya di bidang TI.
Berangkat dari konsep melayani, di masa depan, Lucky memiliki impian untuk mempergunakan kemampuan dan pengalaman yang ia punyai untuk menciptakan value yang lebih besar dan bisa dirasakan oleh lebih banyak orang.
0 komentar: